Adalah sebuah toko kelontong dengan space terbilang sedang, terletak di ujung jalan, agak jauh dari keramaian pengunjung pasar. Kerumunan yang berbelanja terpusat di pertengahan jalan menuju pasar itu. Hanya sesekali saja pelanggan lama yang jumlah nya tidak seberapa berbelanja ke toko itu.
Keadaan ini, membuat pemilik toko tidak berani menyediakan barang yang tergolong cepat kadaluwarsa, dengan begitu barang dagangan di toko nya sangat terbatas, sales (omzet) nya dari hari ke hari makin jauh dari menggembirakan.
Hari-hari sepi pembeli berkepanjangan itu sudah berjalan dua tahun, yaitu sejak jalan baru dibuka dipersimpangan. Praktis tiada harapan prospek toko akan membaik lagi, seperti sebelum dibukanya jalan baru itu.
Apakah yang harus diperbuat? Sementara pemiliknya tetap berniat mempertahankan toko warisan orang tua.
Suatu hari, setelah membaca penyuluhan pengelolaan toko, pemilik itu berketetapan memilih serangkaian gagasan, mengambil langkah terobosan; dihubunginya beberapa distributor, mengajukan permintaan untuk menjadi pedagang besar (wholesaler/pedagang grosir).
Dua minggu kemudian, satu diantara distributor, yaitu distributor sabun, tertarik untuk menjadikan toko itu pedagang grosir nya setelah melakukan survey lapangan. Sebagai persyaratan, toko wajib menyetor sejumlah uang tanggungan, jaminan kepercayaan.
Isteri pemilik toko, yang mendukung rencana suaminya, dengan berat hati melepaskan perhiasan miliknya, dijual guna memenuhi persyaratan distributor. Apa yang kemudian diperbuat si pemilik adalah titik tolak sebenarnya dari kemajuan tokonya.
[restrict userlevel=”subscriber”]
Beberapa merek sabun mandi diterimakan dari distributor dalam kemasan dus besar, dengan term pembayaran 3 bulan sejak barang diterima.
Olehnya, sabun ditawarkan kepada pengecer, termasuk kepada toko-toko yang berada di lingkungan yang sama, dengan paket per 3 buah, dengan harga grosir tunai. Dengan kata lain ia tidak memungut laba, tiada ‘mark-up’ barang satu sen pun.
Penawaran yang sangat menarik tentu saja membuat dagangannya laris. Sabun eceran dengan harga yang relatif rendah (harga grosir), menarik pedagang eceran sabun dari luar lingkungan kesana.
Toko yang semula sepi, kembali ramai dikunjungi para pedagang eceran sabun. Pusat keramaian pengunjung di pertengahan jalan menjadi bergeser kearah depan toko itu, dan terjadi bagai bola salju, keramaian pengunjung menarik lagi pengunjung lain untuk berdatangan berbelanja dari toko itu. Mereka bukan hanya membeli sabun, melainkan juga barang lainnya.
Keramaian itu dilihat distributor produk lain, yang tertarik menjadikan toko itu sebagai pedagang grosir produk mereka. Mulai dari biskuit, manisan, bahan pembuat kue dan lain-lain, tanpa kewajiban setor uang jaminan. Dengan syarat pembayaran 3 bulan.
Keterbatasan space tidak menjadi kendala, karena setelah penerimaan barang, dalam sehari saja sudah terjual habis. Dagangannya laris, karena harga grosir; ia tetap tidak memungut laba sama sekali.
Lalu, bagaimanakah ia menutup biaya operasi toko itu? Ia mendapatkan dana untuk itu dari menjual dus-dus besar yang tidak terpakai lagi, kepada penampung yang datang beberapa hari sekali.
Demikian kisah nyata sebuah toko dan perkembangannya di Sumatera.
Sekarang, pengelolaan toko sudah dialihkan kepada generasi kedua. Pendatang baru mengikuti jejaknya, namun tak dapat menggoyahkannya dari posisi sebagai pedagang grosir terkemuka.
Sekilas pandang, langkah pemilik toko sepi pengunjung ber investasi menekuni bidang perdagangan grosir sulit diterima akal. Dalam kasus toko ini, umumnya yang diperbuat orang adalah memindahkan usaha dagang ke lokasi ramai pengunjung.
Kisah nyata ini mengandung pesan, bahwa memahami psikologi pembeli adalah esensi yang perlu dipelajari untuk menjalankan usaha niaga.
Dari kisah ini, menurut pembaca budiman, apakah keuntungan lainnya yang diperoleh pemilik toko itu? [/restrict]