Petani dan Gadis Congkak.

Kasih orang tua yang terbaik adalah memberi pendidikan budi pekerti dan disiplin kepada anak. Orang tua yang memanjakan dan enggan mendidik anaknya dengan baik tentu akan melihat anaknya dididik oleh masyarakat tanpa kasih di kemudian hari. Manakah yang terbaik? Pilihan berada pada orang tua.

Perempuan diperlakukan dengan baik dan terhormat oleh laki-laki karena kelembutan sikap dan prilakunya. Jikalau kelembutan itu tiada lagi, apakah yang tertinggal pada diri perempuan, agar ia diperlakukan dengan baik, diempukan oleh laki-laki?
Begitulah bunyi petuah lama, mengiringi kisah dibawah ini.

Suatu masa di Srilangka adalah puteri saudagar kaya bernama Sanda. Sejak kecil hidup dimanja orang tua; segala kepentingannya ada yang mengerjakan segala keperluannya telah tersedia. Tidak ada orang yang pernah mengarahkan kelakuannya atau menegur, apalagi memarahinya.

Perempuan dan kecantikan pribadi nya.Tak mengherankan bahwa Sanda tumbuh menjadi gadis menyusahkan. Perangainya tidak terpuji, tutur katanya pun ketus, dan cenderung sekehendak hati merendahkan orang lain di sekeliling, sementara mereka mandah saja diperlakukan demikian; Karena Sanda adalah puteri saudagar kaya yang berpengaruh, disegani.

Tidak ada yang suka berteman dengannya, Banyak pemuda melirik dan mendekatinya untuk kemudian mundur teratur. Keadaan ini memusingkan orang tuanya memikirkan akan perjodohan puteri mereka. Di daerah tempat mereka, perempuan seusia Sanda umumnya telah menikah dan menimang.

Pendekatan kepada para tua-tua dilakukan, sampai jauh ke lingkungan, di luar daerah mereka, kalau kalau ada pemuda dari keluarga mereka tertarik untuk menikahi Sanda. Kualifikasi calon menantu yang di persyaratkan semula telah mengalami pemerosotan, hasilnya tetap nihil. Tiada pemuda yang tahan menghadapi prilaku Sanda.

Setelah hampir putus asa kedua orang tuanya, satu hari datang pemuda petani miskin, bernama Nanak, menyatakan kesiapan menikahi Sanda tanpa perlu pengenalan lebih dulu. Petani muda yang sehari-harinya bekerja dengan kapak dan cangkul tampak lugu penampilannya, tidak menunjukkan kesanggupan menghadapi Sanda.

Dikarenakan tiada pilihan lain, diterimalah Nanak menjadi menantu, dengan syarat tak boleh menceraikan Sanda serta tidak boleh juga menikah lagi sesuai adat yang berlaku disana. Pernikahan Nanak dan Sanda dilangsungkan beberapa hari kemudian.

Selesai upacara adat dan resepsi, pasangan mempelai ditinggalkan dalam rumah baru, yang dibangun khusus untuk Sanda berumah tangga. Duduklah mereka berdua, masih dalam kostum pengantin, berdiam diri pada kursi terpisah satu sama lain dengan jarak beberapa langkah. Sanda seperti biasa, menunjukkan ekspresi muram-masam.

Sesaat kemudian Nanak berkata, ditujukan kepada seekor ayam yang sedang mengais tanah di muka pintu rumah. Katanya: “Ayam, saya haus, ambilkan saya air minum.”
Keruan saja ayam tidak menanggapi perintahnya. Melihat itu, Nanak mengambil kapak dari dalam jubahnya, dengan sekali tebas, putus kepala ayam itu dibuatnya.

Tercekat hati Sanda atas kejadian itu, wajahnya semula masam acuh-pongah berubah menunjukkan kecemasan. Belum reda kecemasan Sanda, berkata lagi Nanak, sekali ini ditujukan kepada seekor kucing yang duduk sambil mengusap moncong, tak jauh dari pintu rumah.

“Kucing, saya haus, ambilkan saya air minum.” Begitu dengan nada lembut, berwibawa, Nanak memerintah kucing. Seperti ayam tadi, kucing juga tidak menanggapi perintah. Sedetik kemudian Nanak menebas kepala kucing lepas dari badannya, tanpa sempat ia mengeong.

Tergetar perasaan Sanda dengan kejadian kedua, terbelalak matanya ketakutan, tiada lagi ia duduk tenang, sesekali ia melihat kepada Nanak, tiada lagi meremehkan. Selang sejenak, terdengar lagi Nanak berkata, kepada kuda yang ditambat pada pagar rumah, kuda tunggangan Sanda menuju ke rumah itu.

Kembali nada lembut Nanak terdengar: “Sekarang kuda, engkau ambilkan saya minum, saya haus.” Terulang untuk ketiga kali, Sanda menutup wajah dengan kedua tangannya tidak sanggup menyaksikan bagaimana kuda yang tidak menanggapi perintah dibantai Nanak dengan sekali ayunan kapaknya.

Terkencing Sanda dalam duduknya, tubuhnya bergetar, wajahnya memucat pasi bahna takut. Ia yang biasanya menghardik tidak pernah merasa sedemikian tidak mampunya berucap sepatah kata. Di rumah itu tiada orang untuk berlindung dari ketakutannya.

Sesaat kemudian napas Sanda terhenti, terasa hampir putus jantungnya, ketika Nanak menoleh perlahan kepadanya, berkata dengan lembut namun tegas:
“Sekarang engkau ambilkan saya minum, saya haus.” Tanpa menunda sedetik, Sanda bangkit dengan lutut yang bergetar, menuju dapur dan kembali dengan membawa air minum untuk Nanak.

Sanda menjadi penurut, ia patuh kepada apa yang dikatakan dan dikehendaki Nanak. Melayaninya dengan makan malam, walau dengan canggung karena ketidak-biasaan bekerja. Melayani suaminya dengan baik, melewati malam pertama mereka di ranjang pengantin.

Keesokan harinya, pagi-pagi, belasan tetangga ibu-ibu, dengan ditemani beberapa laki-laki, berkunjung ke rumah itu untuk melihat apa yang terjadi atas pasangan pengantin baru itu, besar rasa ingin tahu mereka, untuk melihat nasib Nanak diperlakukan Sanda. Mengendap-endap mendekati rumah, beberapa diantaranya mulai menempel telinga di pintu dan jendela rumah itu.

Sanda yang melihat kedatangan mereka dari dalam rumah, lekas membuka pintu. Dan dengan serta- merta ia mendekati, sambil meletakkan jari telunjuknya di depan mulut: “Sssssst…, janganlah membuat gaduh, jangan sampai ia terbangun dan memarahi kita semua, ia masih merasa lelah.” Begitu Sanda berbisik dengan ekspresi memohon.

Terperanjat para tetangga itu seolah-olah tidak mempercayai apa yang mereka dengar dan lihat. Mereka tak mengetahui apa yang telah terjadi, namun keadaannya sungguh berlawanan dengan apa yang mereka perkirakan sebelumnya.

Demikian dikisahkan petani sederhana menundukkan gadis congkah yang dinikahinya. Kebengisan yang telah diperbuat Nanak dihadapan Sanda berkesan berlebihan, tetapi mungkin sikap seperti itu yang dibutuhkan, untuk menundukkan perempuan dengan perangai luar biasa tak terkendali. Ada juga pendapat agar membiarkan Sanda seorang diri sampai hari tuanya, menjadikan pelajaran untuknya.

Orang tua memanjakan, enggan memberi pendidikan budi pekerti dan disiplin kepada anak tentu akan melihat anak dididik oleh masyarakat. Piliihan ada pada kita; mendidik dengan sebaiknya, atau melihat anak akan dididik orang lain di kemudian hari.
Atau adakah pembaca budiman mempunyai idea yang lebih baik sekiranya pada posisi sebagai petani itu?