Kalau Keadilan Menjauh.

Pembela berhasil meyakinkan sidang, bahwa tiada perkosaan, perbuatan pelaku dikarenakan keinginan dan sikap si pelapor. Laki-laki itu bebas dari tuduhan, sambil menjawab pertanyaan wartawan ia berjalan melempar seringai kemenangan. Apakah lagi dapat diperbuat perempuan yang dijauhkan dari keadilan?

Seorang bintang iklan pakaian dalam perempuan, dalam perjalanan pulang dari studio, berniat singgah lebih dulu di tempat favorite nya untuk makan malam. Di jalan daerah perkebunan yang sunyi, terpaksa menghentikan kendaraan dikarenakan sebuah mobil lain menyalib dan menghadangnya.

Pengemudinya keluar dari mobil dan berjalan ke arahnya, menyatakan akan menuntut nya atas kerusakan bagian belakang mobilnya yang telah ditabrak. Penasaran, Brigitte, bintang itu, keluar pula dari mobilnya untuk menyanggah tuduhan.

korban-menangisSetelah memeriksa mobil orang itu, yang ternyata baik-baik saja, tanpa sempat mempertanyakan, Brigitte ditarik kedalam ilalang di tepi jalan. Ia mencoba melawan, tetapi orang itu telah dengan kuat memeluknya. Ia berteriak tiada seorang lain yang mendengar, bahkan oleh karena itu ia mendapat perlakuan kasar.

Satu jam berlalu, tertinggal Brigitte seorang diri disana. Ia bangkit perlahan memungut helai-helai pakaiannya yang terserak. Dicobanya mengenakannya kembali, sedapatnya untuk menutupi tubuh dari terpaan angin dingin.

Perjalanan pulang berlanjut dengan derai air mata yang mengaburkan tatapan kosong. Tiada lagi teringat akan makan malam. Setiba di rumah, berkali-kali mandi tak kunjung juga tubuh terasa bersih. Ditelponnya sahabat, dengan tergagap diceritakan apa yang baru saja dialami. Samar ia mengingat nomor kendaraan orang itu.

Keesokan hari, ditemani sahabat, Brigitte melaporkan kejadian yang menimpa dirinya ke kantor polisi, dan menempuh prosedur yang diperlukan sebagai pelengkap laporan. Dalam waktu dua hari si pelaku telah ditangkap dan ditahan. Sementara, Brigitte mulai menjalani therapy psychology atas trauma yang diderita.

Berselang sebulan lebih Briggite berangsur dapat kembali dengan kegiatan hariannya. Walau bayang kekerasan masih menghantui, ia menghadiri sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, sampai hari pengadilan menetapkan vonis.
Tetapi apa hendak dikata, pengadilan memutuskan pelaku bebas dari segala tuduhan.

Pengacara pembela yang terkenal, telah berhasil meyakinkan juri bahwa tidak pernah terjadi kasus perkosaan sebagaimana dituduhkan; bahwa apa yang diperbuat pelaku, dikarenakan sikap pelapor sendiri yang menimbulkan kesan “mengundang”.
Pose-pose Brigitte untuk iklan pakaian dalam yang tertayang diberbagai media, sangat memperkuat pernyataan si pengacara.

Diluar gedung pengadilan, pelaku menjawab pertanyaan para wartawan dengan sikap pemenang, serta melemparkan senyum seringai kepada Brigitte yang melihatnya dari jarak agak berjauhan.

Apakah lagi yang dapat diperbuat perempuan, yang telah dihempaskan jauh-jauh dari keadilan, selain kembali melanjutkan kehidupan, dengan berusaha melupakan tragedi atas dirinya, tanpa pernah sempurna berhasil?

Hampir setahun setelah itu, suatu sore Brigitte pulang, membawa sebuah lap-top yang dibeli sebagai hadiah surprise untuk adiknya yang menginap di rumahnya selama libur kuliah musim dingin. Didapatinya gadis itu sedang duduk memeluk lutut, menangis, di sudut ruang duduk.

Semalaman ia menghibur, sampai adiknya dapat menceritakan apa yang telah terjadi sore itu, sekeluar ia dari gedung perpustakaan. Kembali Brigitte berhubungan dengan polisi, kali ini sehubungan dengan kasus mengenai adiknya.

Beberapa hari kemudian, memenuhi panggilan kantor polisi untuk mengenali terduga; betapa terkejut Brigitte, bahwa dari sederetan orang di balik kaca satu arah pandang, adiknya menunjuk laki-laki yang tak akan pernah terlupakan, wajah yang menyeringai kepadanya di depan gedung pengadilan.

Tragedi yang sama terjadi atas kakak beradik oleh pelaku yang sama. Keadaan adiknya yang baru menginjak usia dewasa, lebih memprihatinkan. Hampir setiap malam mimpi buruk hadir dalam tidurnya, sehari-hari tercenung menangis, tanpa selera menyentuh makanan kalau tiada yang membujuk dan menyuap. Therapy yang dijalani tak banyak menolong, keadaannya tak memungkinkan kembali ke asrama untuk mengikuti kuliah seusai liburan.

Di persidangan, Brigitte yang menemani adik, memberi kesaksian yang memberatkan, berdasar kepada kasus lalu. Media, yang kebanyakan bersimpati kepada kakak beradik itu, ramai memberitakan bahwa kali ini si pelaku tidak dapat lolos dari jerat hukum.

Di pihak tersangka, lagi-lagi pengacara handal terkenal yang sama tampil, mengajukan pembelaan dengan teori bahwa memang ada keluarga dengan anak-anak perempuan berkecenderungan menggoda lawan jenis; sebagaimana kakaknya begitu pula adiknya. Dikemukakannya berbagai contoh mengenai itu.

Lebih jauh dikatakannya, bahwa kasus yang dituduhkan kepada klien nya sama sekali bukan perkosaan. Melainkan terlihat adanya usaha kakak beradik itu untuk memeras klien nya, siapa adalah anak pengusaha kaya yang terkenal.

Brigitte dan adiknya tidak menghadiri jalan sidang mendengarkan kesaksian para ahli, yang didatangkan pihak tertuduh; tidak sanggup mendengarkan bagaimana pembela dengan keahliannya membolak balik perkara.

Pada hari penetapan vonis, Brigitte mengikuti dari televisi. Dan sekali lagi pengacara itu berhasil meyakinkan juri dengan pembelaannya, si pelaku terbebas dari tuduhan.
Berjalan keluar gedung pengadilan, si pelaku yang dikerumuni wartawan tidak melihat Brigitte dan adiknya, untuk berpongah seperti dengan kasus lalu.

Setiba di samping mobil mewah yang menjemputnya di bawah tangga, si pelaku akan mengakhiri menjawab pertanyaan. Dari belakang para wartawan, Brigitte menyeruak, dengan mantel tersampir di tangan, tidak dikenakan seperti orang-orang lain disana.

Mantel itu jatuh ke lantai, tampaklah sepucuk senapan berlaras tanggung ditangannya. Setiap orang yang melihat terpana, menyadari siapa yang bersenjata itu.
Detik berikutnya, senjata itu meletus berkali-kali. Setelah setiap isinya terlontar, masih pelatuk ditarik memperdengarkan bunyi klik…., klik…., klik….

Tubuh yang dipenuhi lubang-lubang dimana peluru bersarang, roboh, tewas sebelum menyentuh lantai, dengan wajah terkejut, tiada seringai.
Segera petugas keamanan merenggut senjata dari tangan Brigitte dan menggiringnya, namun ia berjalan dengan kepala tegak.

Brigitte meraih sendiri keadilan baginya, setelah hukum jelas gagal total mencapainya. Kejadian kisah ini bukan satu-satunya kegagalan hukum menangani kasus. Akan tetapi harus berapa banyakkah korban sampai hukum dapat menjerakan pelakunya?
Ataukah dibiarkan hingga korban mencari jalan sendiri untuk meraih keadilan?