“Ih gemas sekali, ingin cubit pipinya.” begitu kira-kira nada menyukai anak montok lucu dan sehat. Apakah komentar itu refleksi sikap mengasih?
Mungkin terlalu dini menyimpulkan demikian sekalipun komentar itu disuarakan orang yang sudah mempunyai anak.
Pernah penulis menggendong anak sahabat, berusia dua tahun, sewaktu berkunjung ke rumahnya. Tidak lama, dari pintu tampak seorang ibu lebih setengah baya, kenalan keluarga, tiba dan turun dari kendaraan umum roda tiga, membuka dompet kecilnya, cukup lama memilah lembaran uang lusuh untuk membayar pengemudi kendaraan.
Memasuki rumah, menyapa, ibu itu mengulurkan tangan nya, kearah pipi anak dalam gendongan penulis. Dengan refleks namun tak mencolok penulis melangkah berputar untuk menghindarkan pipi si anak dari jari-jari tangan ibu itu, mengingat bagaimana ia mencari uang di dompetnya tadi.
Ibu itu tiada menyerah, ia melangkah, mengitari penulis dengan tangan terjulur untuk mengejar. Sekali lagi penulis melangkah berputar, seolah-olah tidak mengetahui akan niatnya. beberapa kali berulang seperti sedang menari, tiada juga berhasil jari-jarinya menyentuh pipi anak.
Menyadari apa yang terjadi, membuat si ibu merasa tidak senang. Untuk itu kemudian penulis menerangkan alasan tindakan disertai permintaan maaf, yang diterima dengan baik olehnya.
Penulis menyesalkan terjadinya insiden tersebut, walau saat itu menghadapi dilemma, antara ber-empathy kepada anak dalam gendongan atau membiarkan ibu memuaskan rasa sukanya, yang tidak menyadari kerentanan kulit anak yang masih halus terhadap kuman.
Sekiranyapun kurang menyadari arti penting kesehatan dan kebersihan tetapi tidakkah menyadari bahwa pada umumnya, pipi anak menjadi objek, dibagian mana ibunda dan ayahanda yang mengasihnya mendaratkan ciuman?
Mengapa orang tua anak harus membaui aroma tangan orang lain yang entah setelah memegang apa, dan melekatkannya pada pipi anaknya?
Boleh-boleh saja menyukai orang lain atau sesuatu yang ada pada orang lain, namun seyogyanyalah mengekang hasrat memuaskan rasa suka, sehingga tidak menimbulkan kesan lancang, meskipun yang tampak dipermukaan adalah sikap mempersilahkan.
Setiap orang mempunyai pandangan unik atau sensitif atas hal tertentu. Seorang yang menempat– kan dirinya dengan baik, tentu tidak akan ia masuk ke dalam rumah orang dengan mengenakan alas kaki, sandal atau sepatu, jikalau tuan rumah sendiri melepas alas kaki ketika memasuki rumahnya, walaupun tuan rumah mempersilahkan masuk, dengan mencegah tamu melepas alas kaki.
Memenuhi undangan di restauran, sebagai tamu hendaklah tidak memesan makanan mendahului yang mengundang, walau betapapun ia bersikeras mempersilahkan lebih dulu. Seorang mawas diri memberi kesempatan memesan kepada yang mengundang lebih dulu, pesanan tamu menyusul, disesuaikan dengan pesanan yang mengundang, tidak memanfaatkan moment undangan untuk memesan sepuas hasrat.
Sepatutnya, sikap baik tidak ditanggapi sebagai keleluasaan berbuat sekehendak hati, tanpa melihat kepentingan orang lain. Kebanyakan orang tidak mengutarakan ketidak berkenannya dihadapan yang bersangkutan secara langsung, demi keramah-tamahan, kesopanan dan tata krama.
Namun, apabila perbuatan atau sikap seorang telah berkelebihan dan sudah berulang terjadi, pada akhirnya ia akan menerima teguran dari orang yang mungkin sudah lama menahan diri. Alangkah baik ber-introspektif, menjaga sedapatnya agar perbuatan dan sikap kita berkenan dihati orang lain setiap saat, dalam setiap kesempatan.
Sikap mawas diri membuat kita mudah diterima pergaulan.
Siapakah yang suka menerima orang dengan aji mumpung, memanfaatkan kebaikan hati orang untuk kepuasan sendiri?