Setiap orang berbesar hati mendapati hasil test Kecerdasan Intelijen (IQ) nya bernilai tinggi. Kecerdasan rasional sangat dibutuhkan untuk membangun prestasi dan nilai IQ menunjukkan akan kecerdasan belajar, potensi untuk menangkap pelajaran. Tetapi IQ sendiri apakah cukup mendukung perjalanan menuju kepada keberhasilan?
Tidak sedikit penyandang autis, bermasalah dalam ber komunikasi, berkesulitan dalam berkomunikasi serta bergaul mempunyai IQ sangat tinggi. Ada banyak orang ber ijazah dengan angka mengagumkan namun hidupnya tidak menggembirakan.
Sebaliknya mereka yang kurang beruntung karena tiada sempat mengikuti pendidikan tinggi, atau yang prestasi belajarnya lemah ada yang mendapat kehidupan sangat baik makmur sejahtera.
Sejak bayi, IQ berkembang seiring dengan pertumbuhan phisik. IQ seorang tak dapat dipacu ataupun dilatih peningkatkannya.
Perkembangan IQ berjalan seriring dengan perkembangan phisik, itupun hanya terjadi apabila didukung dengan nutrisi yang baik.
IQ semasa lalu dibanggakan sebagai pendukung utama terhadap keberhasilan hidup, ternyata menurut penyelidikan, peran kontribusinya diperkirakan tidak lebih dari 30% saja. Ada beberapa kecerdasan lainnya yang perlu diperhitungkan diantaranya adalah yang berperan lebih besar, yaitu EQ.
EQ; kecerdasan emosional, adalah kecerdasan mengendali emosi diri. EQ dikenal akan perannya yang lebih besar dari pada peran IQ bahkan mencapai 50% porsi penentuan masa depan seseorang.
Seorang ber EQ tinggi terlihat dari kecerdasannya mengatur suasana hati, kemampuan memotivasi serta membangun rasa percaya diri, berpengertian mengenai bagaimana pengaruh emosi atas jalan pikiran (ciri leadership), karena itu ia berkemampuan besar untuk ber-adaptasi dengan sangat cepat dan pandai menjaga perasaan orang lain.
Hal kontras antara IQ dan EQ.
Hal kontras dari kedua kecerdasan ini;
Nilai IQ menunjukkan kemampuan mempelajari segala sesuatu yang berada diluar diri nya. Memahami logika dan informasi serta mempelajari berbagai pengetahuan dengan lebih cepat dari pada orang bernilai IQ dibawahnya.
Sedangkan EQ merupakan kemampuan mengenali diri, pengendalian emosi, mengatur suasana hati, kemampuan memotivasi diri, kemampuan menepis kuasa perasaan atas jalan pikiran, kemampuan dalam membangun rasa percaya diri, serta penyesuaian diri dalam lingkungan melalui caranya ber prilaku.
Hal lain dari kedua kecerdasan itu; Nilai IQ dapat diperoleh melalui suatu test, dan IQ seorang tidak dapat dikembangkan. Sebaliknya, EQ setiap orang dapat dikembangkan melalui pembinaan, dapat ditempa oleh keadaan, namun EQ tidak dapat diukur seperti halnya IQ. Untuk menilik EQ seorang berarti harus mengikuti perjalanan hidupnya.
Keterkaitan IQ, EQ, dengan kecerdasan lain.
Tidak sulit untuk memahami bahwa ada saat-saat IQ yang tinggi justru merugikan yaitu bilamana yang bersangkutan menjadi tinggi hati, ego nya menjadi terlalu kuat, dengan kepercayaan diri yang berlebihan bercenderung menyepelekan masalah meremehkan kemampuan orang lain, sehingga kerap menemui kesulitan berkerja dalam team (team work).
Sedangkan EQ yang baik, dalam batas tertentu dapat menutup kekurangan IQ. Dapat mengejar ketertinggalan di dalam belajar, dengan meningkatkan kerajinan, menambah waktu belajar secara bersemangat. Yang sangat menonjol adalah, bahwa EQ yang baik memberi kemampuan kepadanya untuk menghimpun orang-orang berpengetahuan tinggi untuk bekerja dibawah kepemimpinannya.
Pengenalan diri seutuhnya, jiwa kepemimpinan, kemampuan beradaptasi, motivasi diri disertai rasa percaya diri, semua ini yang membuat orang ber EQ baik dapat menyusun sasaran dan tujuan secara objektif, menentukan langkah pencapaian dengan efektif.
Sekalipun IQ dan EQ tampak bagai saling melengkapi satu sama lain, namun kombinasi kedua kecerdasan itu masih mungkin menimbulkan persoalan yang menghambat bagi pencapaian prestasi, yaitu sifat materialis dan serakah. Dalam hal demikian diperlukan kecerdasan lain sebagai penyeimbang dan pemersatu antara IQ dan EQ.
Kecerdasan dimaksud adalah kecerdasan spiritual, disebut SQ, Spiritual Quotient, yang berfungsi meredam ambisi berlebihan, menghindar dari kejatuhan.
SQ dari sudut pandang agama dan non agama.
SQ didefinisi sebagai kesadaran memaknai hidup; membangun kearifan dalam pribadi manusia, bersifat inspiratif.
Spiritual, inspiratif, namun tidak harus diartikan sebagai berkaitan dengan agama, atau kepercayaan tertentu. Umat tidak ber-agama sekalipun dapat membangun kecerdasan spiritual nya.
Dalam konteks keagamaan, kecerdasan spiritual dimengerti sebagai berkat yang turun sebagai upah atas kehidupan saleh, yaitu berupa kesadaran akan karya sang Pencipta. Sementara yang tidak berhubungan dengan agama menyebutnya sebagai humanist.
Kehidupan saleh dipahami sebagai kedekatan bergaul dan perlakuan ramah terhadap Yang Maha Kuasa, menjadikannya seorang yang arif. Kearifan ini kemudian membawa nya kepada kebutuhan akan kedamaian, bahwa kedamaian merupakan pemasok rasa bahagia di hati, mengundangnya kepada pertobatan. Pada tahap ini terbentuk pribadi introspektif dan taat kepada nurani, tahap di dalam mana seorang mampu menangkap pewahyuan.
Oleh karenanya kecerdasan ini disebut juga sebagai ketajaman intuisi.
Pewahyuan adalah pencerahan yang sangat luas, jauh lebih luas dari pada yang tertulis dalam kitab suci, itulah kuasa-Nya. Pewahyuan menambah kekuatan hidup ber-agama seorang. Lebih jauh, pewahyuan meningkatkan kesanggupan dalam menafsirkan kitab suci dengan selurusnya, apapun agamanya.
Menurut kalangan lain, kecerdasan spiritual dapat diperoleh melalui perenungan, yang popular disebut meditasi untuk mendalami makna hidup dan kesadaran akan semesta alam. Kedamaian diperoleh tidak karena harus beragama, namun tetap membawanya kepada sikap bijak.
Kecerdasan atas kemalangan, AQ, kecerdasan penyempurnaan.
Ada kecerdasan lain yang juga mempunyai andil dalam pencapaian keberhasilan, yaitu dikenal sebagai Adversity Quotient, AQ, berarti harfiah kecerdasan kemalangan.
Yang dimaksud adalah kecerdasan melewati masa penderitaan selama kegagalan atau dalam kemalangan.
Perencanaan mungkin saja sudah dibuat sematangnya. Akan tetapi, kemalangan dapat terjadi diluar kendali maupun perkiraan. Kemalangan atau kegagalan dapat membawa permasalahan yang beruntun ke dalam keadaan terburuk.
AQ yang baik membuat orang tiada merasa kehilangan atas kerugian yang ditimbulkan oleh kegagalan. Ia bukan saja tidak meratapi kerugian atau kegagalannya, melainkan di dalam keterpurukan, ia hadir dengan kecerdasan untuk meng-identify problem diikuti dengan pengambilan langkah yang tepat guna menanggulangi permasalahan.
Sukar, bukan berarti tidak bisa.
IQ yang tinggi, potensi yang besar untuk menangkap pelajaran, kinerjanya masih perlu ditunjang kecerdasan lain. Hasil survey menunjukkan, bahwa siswa yang tak menyukai suasana kelas, bersikap antipati kepada pengajar, prestasi belajar atas mata pelajaran bersangkutan tidak menggembirakan.
Setiap kecerdasan saling menunjang dan ber kontribusi mendukung dalam perjalanan mendaki. Dari penjabaran, kita dapat mengatakan bahwa IQ adalah anugerah, bawaan lahir, tidak pantas menjadi kebanggaan. Dan bahwa kebodohan dan kemiskinan bukan dikarenakan kerendahan IQ, melainkan karena rendahnya kecerdasan lain yang justru lebih dominan.
Tidakkah kita melihat kebanyakan orang berharap dilayani ketimbang melayani?
Bahwa kebanyakan orang lebih suka berhutang dari pada berpiutang dan pada umum nya orang kurang mempeduli? Phenomena ini menjawab, mengapa kebanyakan orang mengalami kegagalan.
Pembinaan kepribadian sungguh kompleks, betapa tidak mudah pelatihan kecerdasan, betapa tidak sederhana penyelarasan antar kecerdasan. Tetapi, sulit tidak berarti tidak bisa. Dengan kemauan yang kuat niscaya sikap mental yang baik dapat dibangun, demi pendakian kepada apa yang dicita-citakan.