Dalam awal abad Masehi, adalah seorang filsof, guru yang terkenal; tidak saja karena banyak mantan muridnya yang kemudian menjadi pejabat kerajaan tetapi juga karena pribadinya yang welas asih, sampai tidak pernah membunuh seekor nyamuk pun.
Di suatu pagi yang permai, guru yang telah lanjut usia itu duduk membaca di padang rumput dengan hanya ditemani sejumlah buku di sisinya, terisi dalam sebuah kantong kain (buku dalam zaman itu terbuat dari gulungan serpihan bambu).
Selagi tekun membaca, datang kepadanya serigala dari berlari, lalu dengan terengah berkata kepadanya: “Orang tua, tolonglah saya, sejumlah pemburu sedang mengejar, mereka hendak membunuh saya.”
Spontan guru pengasih menyanggupinya, setelah berpikir sebentar, dikeluarkannya seluruh buku-bukunya agar serigala dapat bersembunyi di dalam kantong kainnya.
Berselang sesaat, beberapa orang perwira berkuda tiba di sana. Jenderal yang memimpin pasukan mengenali mantan gurunya, ia segera turun dari kuda untuk memberi hormat lalu bertanya kalau-kalau guru melihat serigala di sekitar lokasi tersebut.
“Sejak tadi duduk membaca disini, tiada aku melihat mahluk yang engkau maksudkan.” jawab guru. Seorang perwira berniat memeriksa kantong kain guru, ia menghardiknya: “Jangan engkau sentuh buku-buku ku dengan tanganmu yang berlumuran darah itu!” Melihat gurunya marah, lekas jenderal mencegah niat bawahannya. Sebelum pamit, ia berpesan agar guru berhati-hati, karena berkeliarannya serigala ganas di daerah itu.
Sepeninggal pasukan, guru membuka ikatan mulut kantong kain; keluarlah serigala. Ia menggeliatkan tubuh lalu berkata: “Tubuhku pegal bersembunyi, perutku mulai lapar, oleh karena itu sepantasnya aku memangsa engkau, orang tua.”
Tentu saja, guru memprotes: “Mana boleh begitu, bukankah aku telah menyelamatkan engkau, hai serigala?” Jawab serigala: “Betul, tapi tidakkah engkau tahu, betapa derita berada dalam kantong terikat selama itu, sekujur tubuh menjadi pegal karenanya, jadi adil saja sekarang aku memangsa engkau, lagi pula aku sudah lapar!”
Argument berkepanjangan, sampai disepakat untuk menanyakan kepada pihak ke tiga sebanyak tiga kali, demi mencari keadilan. Dengan percaya diri, serigala berpikir, pihak yang diajak ber-konsultasi tentu merasa takut kepadanya dan membenarkan pendirian untuk memangsa guru. Selain itu ia berharap, akan memangsa pula pihak ketiga; guru terlalu kurus untuk mengenyangkannya.
Guru dan serigala berjalan, yang pertama yang didapati adalah seekor sapi betina tua; kepadanya mereka menceritakan ihwal perkara. Si sapi tua itu sedang meratapi nasib; di masa muda mendapat perhatian, orang menyediakan rumput segar untuknya. Kini, ia telah tua dan tidak lagi menghasilkan susu, ia ditelantarkan dan menjadi kurus.
Di saat guru bertanya diakhir cerita: “Jadi, adilkah sekiranya serigala memangsa saya?” Sapi yang sejak mula memang tidak menyimak cerita hanya mengangguk-angguk saja. Serigala dengan senangnya berkata: “Lihat, sapi sependapat dengan saya, adalah adil apabila saya memangsa engkau.”
Beranjak dari tempat sapi, keduanya berjalan lagi, yang ditemui adalah sebuah pohon Le-Chi tua. Seperti halnya dengan sapi, pohon tua itu sedang mengenang masa muda, masa dipuja karena berbuah banyak dan manis, ia hanya mengangguk-angguk ketika ditanyakan pendapat. Serigala bertambah senang: “Telah tiba waktu untuk memangsa engkau, saya lapar!” Guru menyanggah: “Tunggu, masih ada satu pihak lagi untuk kita tanyai pendapatnya!”
Pihak terakhir yang didapati; seorang petani tua sedang bekerja di sawah dengan garu (alat penggembur tanah serupa garpu besar). Kali ini serigala diam, membiarkan guru seorang diri bercerita, dalam pikirannya hasil konsultasi tentu akan sama saja dengan dua pihak sebelumnya.
Selesai guru bercerita, penangkapan petani diluar harapan. “Ooooh jadi, serigala telah menyelamatkan guru dari kejaran serdadu, tadi serigala menyembunyikan guru dalam kantong.” Yang dijawab guru dan serigala berbarengan: “Bukan begitu . . . !”
Kembali guru mengulang cerita, dan serigala membantu. Lalu berkata lagi petani: “Ah, sekarang saya mengerti ceritanya, jenderal menyembunyikan serigala dalam kantong, karena tadi guru hendak membunuh serigala!” Guru dan serigala menukasnya dengan penasaran: “Bukan…..” Serigala malah menambahkan: “Dasar pikun!”
“Ah, cerita kalian berbelit-belit membingungkan, saya tidak mengerti! Perlihatkan saja pada saya bagaimana kejadiannya agar saya dapat mengerti!” kata petani dengan tidak kalah gemas. Dilakukanlah reka ulang, dengan bertiga mereka bermain peran; dimulai dengan serigala masuk ke dalam kantong, lalu mulut kantong diikat dengan tali persis seperti di tempat kejadian tadi.
Lalu, terjadi diluar dugaan guru! Petani memegang garunya dan memukulkannya pada serigala yang sedang tidak berdaya dalam kantong, berulang-ulang, sekeras-kerasnya, tanpa dapat guru mencegahnya; sampai serigala menemui ajalnya.
“Hei, mengapa engkau membunuhnya?” Bertanya guru dengan heran, Jawab si petani: “Saya hanya menegakkan keadilan, serigala yang tidak tahu berterima kasih itu pantas dienyahkan. Selain itu, saya juga membela diri, karena setelah ia memangsa engkau, ia akan memangsa saya juga. Apakah yang engkau harapkan agar saya perbuat?”
Tak lama kemudian, kembali pasukan berkuda tadi mendatangi, mereka menyaksikan apa yang telah terjadi disana. Jenderal menghibur guru, dan membujuk agar merubah sikap pendiriannya terhadap bahaya yang mengancam keselamatan.
Guru menerima baik saran muridnya dan mengubah sebagian dari buku falsafah yang ditulisnya.
Banyak pesan terkandung dalam kisah fiksi ini. Apa sajakah kiranya pesan itu menurut para pembaca yang budiman?