Residence; Mertua Indah.

“Panci ukuran inilah yang pas, buat merebus mertua!” Tertawa lah mereka. Tetapi, apakah yang mereka tertawakan? Anehnya, survey menunjukkan bahwa kebanyakan ibu mertua yang dulu pernah mengalami jadi menantu, tidak membuat mereka ber- empati, atau introspektif ketika tiba gilirannya menjadi mertua.

“Wah besar sekali panci ini mas.” komentar seorang ibu muda melihat panci berukuran ekstra besar suatu hari, di toko perlengkapan memasak. “Panci ukuran inilah yang pas, buat merebus mertua!” Pemilik toko menanggapi dengan ringan, keduanya tertawa..

Entah tertawa karena kelakar itu dirasakan lucu, atau karena kelakar dirasakan sebagai melegakan setelah pencurahan perasaan, atau juga sedang mentertawakan hubungan antar mertua perempuan dan menantu perempuan yang sering (selalu) mengemuka, problematis dan dilematis terutama bagi anggota keluarga yang laki-laki.

Residence-Mertua-IndahSebagaimana kita pahami bersama, secara budaya pernikahan yang terjadi bukan saja antara dua orang yang menjadi mempelai. Pernikahan terjadi antar dua keluarga, dua komunitas kecil yang sangat mungkin tidak familiar satu sama lain.

Dua keluarga membawa pengaruh masing masing atas kehidupan keluarga baru.
Disinilah dimulai persoalan di rumah yang sebenarnya lumrah terjadi dalam keluarga, menjadi tidak sederhana lagi, berkembang menjadi sangat kompleks bilamana di dalamnya terlibat hubungan mertua perempuan dan menantu perempuan.

Teori-teori yang diharapkan memberi solusi sudah tak terbilang banyak, kenyataannya permasalahannya tetap eksis, tanpa solusi yang jelas dan manjur;
Survey yang dibuat psycholog Universitas Cambridge dalam tahun 2009 menyatakan; di Amerika Serikat dan Inggris, lebih dari 60% perempuan muda menikah mengalami stress karena perselisihan dengan ibu mertua. Sementara hanya 15% menantu laki-laki merasa dipusingkan dengan sikap mertuanya.

Survey diatas dilakukan di belahan bumi bagian barat, dimana privacy lebih dihormati. Dibelahan bumi bagian timur, dimana tradisi masih lebih kuat dari pada privacy, yang memandang hubungan antara generasi sebagai ‘kramat’, dapat dipastikan persentasi hasil survey serupa lebih tinggi. Asia timur dengan budaya istiadat yang kental, disana didapati hubungan ibu mertua perempuan dan menantu perempuan yang paling pelik.

Ibu-ibu mengingatkan anak perempuan nya sejak masa pacaran, agar tidak ber-rumah tangga di bawah satu atap dengan mertua; mereka membeberkan pengalaman sendiri semasa menjadi menantu.
Anehnya, survey juga menunjukkan bahwa pengalaman buruk mereka hidup sebagai menantu, tidak juga membuat mereka introspektif, bijak, atau ber-empathy ketika tiba giliran menjadi mertua; sudah selama berpuluh, ber-ratus generasi terjadi demikian.

Residence-Mertua-Indah-2Hubungan mertua-menantu tadi merupakan mimpi buruk dalam banyak pernikahan. Kasusnya hangat, disaat ibu-ibu mertua yang berbagi suka-duka anak perempuan mereka yang menjadi menantu;
“Kenapa perbuatan dan kelakuan menantu seakan-akan tidak pernah benar dan baik, di mata mertua perempuan?”

Dua pihak yang saling ber-simpati, saling menyukai, cenderung mengabaikan kesalahan satu sama lain. Kelakuan yang satu cenderung dipandang baik oleh yang lain, sedangkan pada dua pihak yang terlanjur saling tidak menyukai, tentu terjadi kebalikannya.

Sudah tentu ibu-ibu memahami phenomena ini dengan baik. Jadi sebenarnya tidak ada relevansi pembahasan kasus dengan pencarian solusi, pembicaraan masalah hanyalah merupakan pengeluaran uneg-uneg belaka.

Menantu perempuan merasa, ibu mertuanya mencemburui hubungannya yang mesra dengan suami dan terlalu mencampuri urusan rumah tangga mereka. Sementara ibu mertua mengeluhkan kehadiran menantu, sebagai merenggangkan hubungan ibu dan anak, bahwa perhatian anak kepada ibu tidak lagi seperti waktu anak masih lajang.

Mimpi buruk pernikahan masih akan berkembang menjadi lebih parah apabila disana ada ipar perempuan yang membabi-buta, berpihak kepada mertua. Makin banyak ipar perempuan berposisi seperti ini, makin kompleks problema, makin jauh harapan akan perdamaian dalam keluarga.

Mungkin cara terbaik menghindar dari perselisihan dengan ibu mertua adalah dengan mengambil tempat tinggal di lokasi berjauhan; cukup jauh agar ibu mertua tidak dapat muncul setiap saat dengan mendadak untuk mengomentari (menggurui) mengenai hal kebersihan dapur, cara memasak, menghemat keuangan, merawat-mendidik anak dan keperluan suami, atau anjuran mengurangi kegiatan luar rumah dan sebagainya.
Sayangnya, tidak setiap orang beruntung, dapat memiliki rumah sendiri dengan lokasi pilihan.

Ada pandangan; bahwa korban perselisihan itu, tiada lain adalah suami yang berada di tengah antara ibu dan isteri. Ada pula yang pendapat, bahwa justru suami diharapkan berperan sebagai penolong dan penyelamat, agar rumah tangganya tidak merupakan neraka bagi isteri nya.

Fungsi kepala keluarga tentu sangat berbeda dengan fungsi ‘anak mama’. Suami yang pengadu kepada ibu setiap kali bertengkar dengan isteri, atau selalu membela ibunya dihadapan isteri, sangat sulit diharapkan menjadi sandaran isteri. Ini mendorong isteri mencari sandaran lain, yakni ibunya sendiri.

Apabila ibu dari isteri terlibat di dalamnya, dan ibu ini membela puterinya tanpa lebih dulu mengerti duduk perkara, sulit membayangkan apa yang akan terjadi. Oleh karena itu penulis memilih menyudahi artikel sampai disini.

Tetapi, menurut pandang pembaca budiman, bagaimanakah sebaiknya suami bersikap, sekiranya keluarga muda itu tinggal bersama dalam rumah ‘mertua indah’?