Pada suatu zaman, adalah seorang raja lalim. Seperti umumnya pemerintahan di masa itu, kekuasaan raja adalah mutlak. Kehendak raja adalah undang-undang, wajib ditaati setiap orang dalam kerajaan.
Suatu hari raja jatuh sakit, entah apa yang diderita, badannya terasa demam dan tiada berselera makan. Setiap tabib dipanggil satu persatu untuk menyembuhkannya, setiap tabib mendapat batas waktu dua hari. Dalam batas waktu mana raja belum merasakan pulih, si tabib dianggap gagal dan dihukum pancung. Dalam beberapa minggu, sudah belasan tabib kehilangan nyawa.
Dari antara para tabib, ada seorang yang tabah menunggu giliran dipanggil raja. Ia tidak menghindar seperti tabib-tabib yang melarikan diri kepedalaman.
Dengan tekun dipelajari segala sesuatunya agar tidak ada lagi korban kekejaman raja, mengingat banyak sudah rekan se-profesi mati dengan sia-sia, begitu tekadnya.
Tiba gilirannya ia menghadap raja, dengan bekal persiapan yang sudah dilakukannya, ia memeriksa denyut nadi tangan raja, lalu mendiagnosa penyakit. Ia bekerja di dapur istana, siang malam memasak racikan dari ramuan bahan yang dibawanya dan menyajikannya kepada raja, dengan penuh harap akan kesembuhan raja.
Dua hari berlalu, demam raja hanya sedikit menurun dan tetap tiada selera bersantap. Tabib mencoba menerangkan sebab-musabab menurunnya kesehatan raja dan masih diperlukan waktu untuk mengobati. Tetapi raja berkeras, bahwa waktu yang diberikan telah cukup, karena itu tabib harus menjalani hukuman mati.
Sebagaimana dengan tabib lain sebelumnya, raja yang keji ini menyukai pemandangan pelaksanaan eksekusi. Raja duduk menyaksikan pelaksanaan hukuman. Pada saat-saat yang terakhir, tabib masih memohonkan ampunan bagi dirinya, berusaha meyakinkan raja akan kemampuannya untuk mengobati sekiranya diberi waktu lagi.
Eksekusi tetap dilaksanakan, kepala tabib lepas dari tubuhnya, bergulir dan tepat jatuh hanya selangkah dari hadapan raja. Yang mengejutkan raja adalah, kepala tabib masih bisa berkata-kata, menganjurkan agar raja melanjutkan pengobatan dengan racik obat sebagaimana telah ditulisnya dalam buku dan menyebutkan halamannya.
Tertarik dengan dedikasi tabib, raja memerintahkan penggeledahan barang milik tabib untuk mencari buku dengan judul yang disebutkannya. Setelah ditemukan, raja sendiri mencari rumus racikan obat, pada halaman sebagaimana disebut tabib.
Buku pada masa itu belum tertera halaman nya seperti buku masa sekarang ini. Untuk mendapati halaman tertentu, perlu dihitung dari halaman pertamanya. Begitulah raja menghitung halaman demi halaman. Agar mudah membalik halaman, sekali-sekali raja membasahi jari telunjuknya dengan ludah dari lidah yang dijulurkan.
Belasan halaman sudah dibalik, raja mulai merasakan pening kepala. Sebelum sampai pada halaman yang dituju, raja merasakan napasnya sesak, matanya berkunang, lalu ia terjatuh dari duduknya. Tak lama setelah itu, raja meninggal tak tertolong.
Ternyata dalam mempersiapkan tabib menyusun dua rencana. Kedua rencana dengan tujuan sama, yaitu mencegah bertambahnya korban sia-sia. Rencana pertama adalah memulihkan kesehatan raja. Apabila rencana pertama gagal, rencana kedua dijalankan untuk menghilangkan sumber bencana. Setiap halaman buku yang dimaksudkan telah dibubuhi racun mematikan.
Pesan dalam kisah.
Kiranya pesan dalam kisah adalah agar dalam mengerjakan segala sesuatu hendaklah menyusun rencana dengan sebaiknya, rencana utama dan rencana cadangan, dengan demikian kegagalan pengerjaan rencana pertama setidaknya ter-kompensasi dengan rencana lain yang telah dipersiapkan.
Pesan lain dari kisah adalah agar kita tidak menggunakan jari yang dibasahi ludah dari lidah sendiri untuk membalik halaman buku.
Peristiwa ini kemudian menginspirasi peneraan angka urut pada setiap halaman buku.
Tentu tidak ada dari antara pembaca budiman yang membalik halaman buku dengan jari yang dibasahi ludah sendiri.