Mengantar Kepergian.

Misi kemanusiaan tidak harus muluk, namun dapat dibutuhkan pada setiap saat tanpa terduga, seperti dalam kisah ini. Apabila kita menemukan kebutuhan serupa, siapkah menjalankannya? Begitulah letnan penerbang mendekati memeluk hangat letnan sambil menahan sengguk tangis. Kembalilah letnan menghibur sebagaimana yang dilakukan sebelumnya . . .

Siapakah yang takkan bersiap untuk menjadi orang pertama memberi ucapan selamat atas kelulusan kepada kekasih. Begitulah suatu pagi, seorang gadis mengendarai mobil meluncur kepangkalan angkatan udara di sebuah kota, untuk menyaksikan kekasihnya yang akan menempuh ujian akhir, menerbangkan pesawat tempur.

Sepanjang perjalanan, mengemudi dengan ceria. Terbayang betapa bangga memeluk kekasih hati, letnan pesawat tempur yang ganteng dan menghujaninya dengan ciuman selamat, sambil dengan kagum mendengarkan ceritanya selama ujian penerbangan.

Berkendara-ceriaMendekati gerbang pangkalan udara, jalan menikung, ia kehilangan kendali, mobilnya melaju naik ke atas trotoar dan terbalik. Ia mendapat perdarahan hebat di kepala dan kehilangan kesadaran.

Orang dari sekitar tempat kejadian datang menolong, melarikannya ke sebuah rumah sakit dalam kompleks pangkalan udara itu. Keadaannya sangat kritis, dalam keadaan tak sadar terus menyebut nama “Philips”. Pihak rumah sakit menduga, bahwa orang bernama itu adalah kekasihnya dan mungkin berada di area pangkalan tersebut.

Segera dicari orang bernama tersebut, diumumkan melalui pengeras suara ke segala penjuru; ke barak, aula, hingga ke hanggar pesawat. Sesaat kemudian, datang seorang letnan penerbang bernama Philips ke rumah sakit itu.

Dokter memberitahukan mengenai luka yang diderita akibat kecelakaan; tipis harapan kekasihnya bertahan hidup. Dokter mempersilahkannya mendekati gadis malang, lalu meninggalkan si pilot, yang masih tertegun sulit menerima keadaan.

Tercenung dalam ruang perawatan darurat, berdua dengan gadis yang tidak sadarkan diri, namun sekali-sekali, perlahan memanggil namanya. Philips mengambil kursi dan duduk di sisi pembaringan, dengan tabah ia menemani, memegang membelai tangan gadis itu, menghibur dengan kata-kata mesra ke telinganya, beberapa menit sampai ia menghembuskan napas terakhir.

Sesaat kemudian dokter kembali ke ruang itu, ia memeriksa, memastikan bahwa gadis itu telah tiada dan menyatakan keprihatinan kepada Philips atas kepergian kekasihnya. Letnan penerbang itu berkata perlahan: “Saya memang bernama Philips, tetapi bukan kekasih gadis itu, saya bahkan tidak mengenalnya sama sekali.”

Dokter menyatakan keheranan, mengapa itu tidak dikatakannya disaat ia tiba. Letnan menjawab: “Dokter, dalam keadaannya tadi, gadis itu berharap seseorang menemani, mengantarkannya pergi dalam ketenangan dan kebahagiaan. Itulah yang saya perbuat karena tiada lagi waktu dan tiada lagi orang lain.”

Pada saat itu, dalam ruang yang sama telah ada seorang lain, berseragam penerbang tempur, mendengarkan percakapan dengan mata berkaca-kaca. Ia mendekati letnan Philips, memeluknya dengan hangat sambil menahan sengguk tangis. Ia adalah letnan Philips, yang baru saja dinyatakan lulus ujian akhir pilot pesawat tempur, ia ini kekasih gadis itu. . .

Demikian kedua letnan Philips, bersamaan nama, saling memeluk. Letnan Philips yang mengantarkan kepergian gadis itu jelang saat-saat terakhirnya, menghibur lagi letnan Philips yang ditinggalkan kekasihnya.

Begitulah dikisahkan;
Misi kemanusiaan tidak harus muluk, misi kemanusiaan dapat dibutuhkan setiap saat, tanpa disangka-sangka. Siapkah kita menjalankannya seketika dibutuhkan?