Di sebuah kota kecil di Tiongkok, adalah seorang perempuan berusia 30 an, suaminya belum lama meninggal karena suatu penyakit. Hidup menjanda bagi YueLan, sungguh sangat tidak mudah.
Selain harus bernafkah sendiri, ia juga dikucilkan dari pergaulan di lingkungan; bukan karena kelakuannya, bukan juga karena ia meminta belas kasih orang orang lain, tetapi karena ia berparas rupawan dan beberapa yang iri kepadanya menggosipkan hal yang tidak benar mengenai dirinya.
Para isteri, tua dan muda, melarang suami mereka berdekatan dengannya, berkuatir kalau-kalau suami terpikat oleh kecantikan nya. Sekejap lirikan saja cukup menjadikan gossip, tanpa jelas siapa yang menyulut.
Beban sangat berat terasa, namun kembali kepada orang tua di kota lain tak mungkin; transportasi waktu itu praktis terputus dan keadaan keamanan sangat rawan. Tak ada yang menempuh perjalanan selagi perang berkecamuk. Tentara Jepang yang terkenal kejam telah menduduki banyak daerah di Tiongkok.
Tiada pilihan lain, YueLan terpaksa tinggal di tengah warga yang mengkucilkannya dan menghidupi diri dari hasil menyulamnya yang indah, dititip-jualkan nya pada sepasang kakek nenek yang berjualan di pasar, mereka bersimpati kepadanya. Penitipan itupun dilakukan diam-diam, agar warga kota tak memboikot dagangan kakek nenek itu.
Suatu hari terdengar kabar bahwa sepasukan tentara Jepang yang sedang menuju ke selatan akan melewati kota mereka. Walau hanya akan berada beberapa hari saja di kota itu, warga merasa resah dikarenakan kebrutalannya.
Warga laki-laki berkumpul di balai kota dan meneriakkan semangat perlawanan sambil mengacungkan senjata seadanya di tangan, padahal tiada dari mereka yang petarung sama sekali.
Hari ditakutkan tiba, tentara Jepang memasuki kota, merampas segala yang dihendaki. Dengan senjata siap tembak dan pedan terhunus ditangan, menumpas siapa saja yang mencoba menghalangi. Warga yang melawan ditangkap, dipancung kepala dihadapan semua orang disana. Perlawanan warga kota dipatahkan dalam waktu singkat.
Keesokan malam, beberapa orang tentara Jepang tanpa diduga berjalan di lingkungan dimana YueLan tinggal dan berniat melampiaskan hasrat hewani, dengan merampas tiga orang gadis dari rumahnya, menyeret mereka ke sebuah rumah tua kosong tanpa mempeduli permohonan akan belas kasihan orang tua mereka, tiada juga yang berani menolong.
Pada saat kritis, YueLan mendatangi, dengan berani berkata kepada tentara brutal itu: “Lepaskan mereka! Sebagai pengganti ambil saya, percayalah saya dapat memuaskan kalian semua.” Melihat perempuan cantik mempesona menawarkan diri, dilepaskanlah ketiga gadis, lalu mereka menggandeng YueLan ke dalam rumah kosong itu.
Pagi hari barulah YueLan keluar dari sana, berjalan dengan langkah gontai. Para orang tua serta gadis mereka yang diselamatkan dan banyak warga lain memperhatikan dari kejauhan, mereka menyambut YueLan dengan perasaan haru. Segera mendekat untuk memapah saat dilihat YueLan roboh dengan mengalami perdarahan yang hebat.
Hari berikutnya, pasukan Jepang meninggalkan kota, tetapi tak seorang menunjukkan kegembiraan atas kepergian pasukan Jepang. Para warga sedang berkumpul, mereka sedang berkabung untuk mengantarkan YueLan ke tempat peristirahatan terakhir …
Demikian kisah mengenai keberanian perempuan menghadapi kesewenangan. Phisik sebagai perempuan ternyata tidak membatasi kemampuan untuk membela sesama. Bagaimanakah dengan kemampuan kita masing-masing?