Dimanakah naga berada, siapakah pernah melihat? Namun setiap bangsa mempunyai sebutan untuk mahluk imajinatif ini; Dragon, Apakoh, أ. تنين, شخص عنيف, بندقية قصيرة, Naga, 龍, Draak, דרקון; מרשעת, δράκων, dan sebagainya.
Petuah kuno mengambil karakter naga menokohi jalan cerita, antara lain sebuah kisah lama rakyat dari masa dynasty Tang, berikut ini.
Dari komunitas besar naga dalam legenda Tiongkok tua, empat diantaranya ber-posisi pada empat penjuru, bertindak selaku executive (pelaksana) cuaca harian, pada posisi masing- masing. Suatu sore, satu dari antara empat naga beranjak dari posisinya dan menjelma menjadi manusia, bermaksud melihat-lihat kehidupan orang di bumi.
Dengan pakaian mentereng manusia naga berjalan-jalan perlahan, dalam keramaian kota. Lewat di persimpangan jalan, terlihat beberapa orang sedang duduk berkeliling meja di serambi sebuah penginapan.
Mereka, para pedagang tamu penginapan, sedang ramai menanyakan perkembangan cuaca pada peramal sehubungan rencana perjalanan berdagang ke kota lain.
Pedagang yang membawa banyak barang dagangan berlega hati mendengar si peramal menyatakan bahwa dalam dua-tiga hari kedepan keadaan cuaca akan cerah dan baik untuk menempuh perjalanan.
Penuturan mana membangkitkan rasa angkuh manusia naga, merasa diri sebagai yang menentukan perkembangan cuaca, timbul niatnya untuk mempedaya, memanfaatkan kesempatan untuk memuliakan diri.
“Saya bukan seorang peramal terkenal seperti anda, tetapi saya menyatakan bahwa di dalam beberapa hari mendatang cuaca akan sangat buruk.”
Betapa terkejut semua yang mendengar, terutama si peramal. Lekas ia menundukkan kepala untuk memperhatikan jari-jemarinya yang ‘menghitung’, lalu ia berkata: “Entah bagaimana tuan dapat berkata begitu? Menurut perhitungan saya, cuaca akan terang, dalam beberapa hari ini, walau memang ada sedikit berawan dan angin bersemilir.”
Manusia naga berkata lagi dengan lantang, sambil memandang berkeliling pada setiap orang yang berdatangan menambah banyak kerumunan: “Baik, biarlah setiap orang di penginapan ini menjadi saksi atas perbedaan pendapat diantara kita berdua. Kita akan bertemu lagi di sini, setelah tiga hari dari sekarang!” Begitu pongah ia menantang.
Sepergi dari sana ia kembali ke wujud asal. Subuh keesokan harinya, disemburkan air sebanyak banyaknya dari mulutnya, hujan deras menerpa bumi tiada henti selama dua hari dua malam, banjir tidak terelakkan melanda beberapa kota, merusak persawahan dan rumah penduduk, bahkan menelan banyak korban jiwa, mereka yang hanyut dan tenggelam.
Pada hari ketiga, ia mengunjungi lagi penginapan, disana berkumpul pedagang yang terhalang banjir di perjalanan dan kembali ke penginapan. Mereka menderita kerugian besar, barang dagangan rusak dan tidak dapat terpakai lagi karena basah.
Mereka mencemooh si peramal atas kekeliruannya mengenai cuaca, meminta kembali uang pembayar jasa meramalnya. Puas hati manusia naga, melihat peramal dipermalukan sedang ia sendiri mendapat pujian untuk ketepatan ramalannya.
Harga atas keangkuhan.
Namun, untuk apa yang telah diperbuat, naga harus menghadapi pengadilan di alam akhirat. Sidang berjalan lancar, tanpa berbantah; naga dinyatakan telah bersewenang menurunkan hujan lebat, diluar jadwal yang ditetapkan, menimbulkan kerugian besar di bumi, untuk itu naga dijatuhi hukuman mati.
Kaisar TaiZong, melalui mimpi, mengetahui keadaan ini. Walau perbuatan naga telah berakibat kepada derita rakyatnya, tidak urung kaisar yang pengasih memikirkan jalan meluputkan naga dari kematian. Kaisarpun mengetahui bahwa algojo yang akan meng eksekusi naga terhukum adalah Xu MaoGong, yang tiada lain adalah penasihat kaisar sendiri.
Mengenai Xu MaoGong, kaisar sering memujinya bagai manusia setengah dewa karena kemampuan penglihatan yang jauh ke depan. Hal mana dimungkinkan terjadi, karena Xu MaoGong berkegiatan dalam dua alam, dunia dan akhirat; pada siang hari ia selaku penasihat kaisar di bumi dan di malam hari, dalam waktu tidurnya, rohnya bertugas di pengadilan alam sana.
Terlintas suatu idea dalam pikiran kaisar; pada hari H eksekusi, diajaknya penasihatnya bermain catur, sejak jelang malam sampai pagi hari, agar dengan begitu Xu MaoGong tidak dapat pergi ke alam sana menjalankan tugas, berharap eksekusi penghukuman atas naga tertunda, atau terbatalkan sama sekali.
Xu MaoGong tidak dapat menampik ajakan kaisar, bergadanglah kaisar dan penasihat, berhadapan ditengahi papan catur. Tiada henti kaisar mengajaknya berbincang untuk memastikan Xu MaoGong tidak tertidur sepanjang malam itu.
Apa yang terjadi tidak dapat dicegah kaisar; diwaktu Xu MaoGong memikirkan langkah permainan, sempat melenggut, mengantuk, tangannya yang memegang kebutan bulu, terayun turun dari meja. Tanpa disadari kaisar, dalam beberapa detik saja melenggut, sudah cukup bagi Xu MaoGong untuk berpindah ke alam akhirat dan bertugas disana. Ayunan tangan tadi adalah gerakan memenggal leher naga . . .
Berakhirlah riwayat naga angkuh, yang menimbulkan kerugian besar di bumi, karena hasrat membanggakan diri, tertinggallah tiga naga pelaksana cuaca harian di keempat penjuru. Entah, apakah kehilangan satu naga menjadikan kurang terkendalinya cuaca dengan baik, berakibat seringnya timbul badai dan hujan lebat pengantar banjir?
Siapakah mengetahui jawabnya?
Yang pasti adalah pesan dalam kisah, bahwa hasrat memuliakan diri kerap mendorong kepada perbuatan yang tanpa disadari mendatangkan kerugian yang sebenarnya tidak perlu terjadi, atas orang lain atau diri sendiri.