Pertempuran sengit mereda sejak seminggu lalu, jalan-jalan di kota Kabul masih sepi dari lalu-lalangnya orang, walaupun toko-toko yang luput dari gempuran peluru telah mulai buka kembali. Kekuatan gerilya telah tergusur, namun sesekali masih terdengar suara letusan senjata disana-sini.
Seorang kolonel pasukan sekutu yang sudah bertugas di sana setahun lebih ditemani ajudan, berjalan di lengangnya ibukota Afganistan. Ketika akan menyeberang sebuah jalan menuju barbershop, dimana hampir setiap minggu kolonel bercukur, ajudannya mencegahnya.
“Maaf sir, menurut pikiran saya, sebaiknya kolonel melupakan minat untuk bercukur ke sana sementara ini, karena si pencukur baru saja kehilangan adik, ia tewas karena ledakan bom pertempuran seminggu lalu, mereka menuduh pihak kita bertanggung jawab.”
Kolonel menanggapi dengan mengangkat bahu, seraya menunjuk kepada cambang dan janggut yang memenuhi wajahnya.
“Itulah maksud saya, pencukuran itu yang saya cemaskan, sir!” Ajudan mencoba menerangkan lagi maksud atas pencegahannya. Kolonel berhenti melangkah dan ditatapnya ajudannya yang langsung bersikap berdiri siap, dihadapannya.
“Jadi engkau mengira bahwa membunuh dengan sikap darah dingin adalah perbuatan mudah? Saya mengetahui apa yang akan saya lakukan, karena perang telah membuat kita memahami satu hal bahwa membunuh menyebabkan timbulnya sakit hati secara mendalam.” Demikian kolonel, lalu meneruskan perjalanan, diikuti ajudan yang belum memahami benar arti perkataan kolonel.
Dengan langkah mantap kolonel memasuki tempat cukur, ajudan diminta menunggu di luar kios seperti biasanya pada waktu-waktu sebelumnya. Disapanya pencukur yang menyambut dengan sikap tidak sehangat biasa, kolonel duduk bersandar di kursi dan mempersiapkan diri untuk ditangani si pencukur.
Pencukur mulai dengan menebar kain penadah di dada kolonel, mengaduk krem dan meng-oles larutan berwarna putih ke seputar pipi dan dagu pelanggannya, kemudian mengambil pisau cukur, mengasahnya pada sehelai kulit pengasah yang tergantung di dinding.
Selama pencukur mempersiapkan segala sesuatunya, kolonel terus berceloteh tenang sebagaimana biasa. Terasakan benar olehnya keengganan pencukur menanggapinya. Sementara itu, ajudan yang menunggu di luar diam-diam mengikuti keadaan di dalam kios melalui kaca pintu.
Pencukuran mulai dengan cambang pada pipi kiri dan kanan kolonel, ketika tiba giliran janggut, yang tumbuh sampai ke leher; sandaran kursi dilandaikan, tubuh kolonel pun merebah dengan leher terbuka, pisau cukur kembali diasah untuk ketiga kali.
Sedang diluar, ajudan berdebar memperhatikan; kolonel rebah, mata terpejam santai, membiarkan pisau yang sangat tajam bekerja di lehernya. Dalam ketenangan, kolonel dapat merasa betapa bergetar pisau yang menyapu sepanjang leher, memotong helai demi helai janggut. Getar juga terasa pada jari-jari tangan pencukur, yang menyentuh leher dan rahangnya.
Waktu berjalan menegangkan bagi si ajudan yang menunggu; ia sangat mencemaskan keselamatan kolonel, selain memikirkan apa yang harus diperbuat apabila terjadi hal yang tidak diharapkan, mengingat jarak pos kesatuannya agak jauh dan bahwa lokasi di mana mereka berada masih rawan terhadap serangan balasan gerilya.
Menit-menit berlalu, selesailah pencukuran cambang dan janggut. Pencukur berbalik menghadap cermin, membelakangi kolonel, terdiam dengan tangan bertelekan pada meja. Gerak bahunya memperlihatkan ia menarik napas lega, ajudannya juga merasa lega. Kelakuan si pencukur membuat kolonel harus berusaha keras menyembunyikan senyumnya.
Setelah berbasa-basi, membayar upah mencukur, kolonel merangkul pencukur dengan hangat, dibalas dengan pelukan hangat lalu mereka berpandangan penuh arti. Ajudan menyaksikan adegan dari balik kaca pintu ikut tersenyum karenanya. Sekeluar mereka dari barbershop, ajudan menanyakan apa yang membuat kolonel yakin akan pribadi si pencukur.
“Saya mengenalnya, karena dari mengobrol dengannya saya mengetahui dengan siapa ia bergaul. Pribadi seorang dapat dikenali melalui pergaulannya. Ia bukan pembunuh, walau perang berkecamuk di sekitarnya. Sama seperti engkau dan saya bukan berasal dari kaum pembunuh berdarah dingin. Kita merasa sakitnya rasa hati ketika terpaksa menembakkan senjata, walau kita sudah dilatih untuk terjun ke dalam medan perang.” Jawab kolonel.
Demikian kisah kolonel dengan pengalaman berperang.
Kiranya kisah mengandung pesan bahwa perbuatan jahat bertentangan dengan suara hati. Oleh karenanya, hendaknya kita memilih pergaulan, yang baik, positip, agar tidak membuat kita terbiasa dengan perbuatan bertentangan nurani. Agar kita tidak menjadi terbiasa berbuat sesuatu yang kemudian disadari sebenarnya menyakiti hati sendiri.
Pesan lain apakah terkandung dalam kisah menurut pembaca sekalian yang budiman?