Sesudah Qin Shi Huang, kaisar pertama daratan Tiongkok, wafat dalam tahun 210 BC, kaisar Qin Erl Huang meneruskan pemerintahan, ia tak secakap ayahandanya. Perang sipil terjadi, pemberontakan timbul dimana-mana, dua diantara berkekuatan terbesar, dipimpin Xiang Yu dan Liu Bang.
Mula berdiri dynasty Han.
Dynasty Qin runtuh dalam tahun 206 BC. Daratan Tiongkok terpecah lagi, menjadi 18 kerajaan. Telah dapat diduga, harus tiba waktu untuk dua terbesar, kerajaan Chu yang dipimpin Xiang Yu dan kerajaan Han yang dipimpin Liu Bang, menunjukkan siapa yang terkuat untuk memimpin kekaisaran Tiongkok masa berikutnya. Dari belasan kerajaan lain, sebagian memihak pada kerajaan Chu, selebihnya mendukung kerajaan Han.
Xiang Yu dikenal sebagai panglima militer handal, tetapi pertempuran di Gai-Xia ber akhir dengan kemenangan Liu Bang, yang menghabisi kekuatan Xiang Yu.
Liu Bang dinobatkan para pendukungnya, sebagai kaisar atas Tiongkok dengan gelar kaisar GaoZu. Dimulailah kekaisaran Han, tahun 202 BC, ber ibukota di ChangAn.
Pada awal mula, pemerintahan kekaisaran Han terbagi ke dalam dua bagian menurut wilayah otonomi, sepertiga daratan bagian barat adalah pemerintahan kekaisaran, terdiri 13 wilayah komando dibawahi langsung pemerintah pusat. Demikianlah disebut sebagai masa Han barat.
Dua pertiga daratan Tiongkok bagian timur, terbagi ke dalam 10 kerajaan pemerintah semi otonomi, masing-masing dipimpin ‘raja-muda’. Kepemimpinan raja muda adalah simbol penghargaan kepada tokoh yang telah memberi dukungan dalam menghadapi kerajaan Chu, hingga berdirinya dynasty Han.
Raja-raja muda berkewajiban memungut pajak di kerajaannya, dan diserahkan kepada kekaisaran atau pejabat dalam kerajaan yang ditunjuk kaisar.
Perseteruan dengan suku di utara dan pemberontakan.
Sementara itu di utara Tiongkok, ada suku pengembara XiongNu, yang dipimpin Modu Chanyu, melebarkan kekuasaan dengan menaklukan suku-suku disana dan menguasai padang rumput luas yang terletak antara benua Eropa dan Asia. Kemudian melebar ke Manchuria, Mongolia, Tarim Basin, menundukkan lebih dari 20 negara di sebelah timur Samarkand.
Di Tiongkok pada waktu itu, banyak peng hasil senjata dengan produksi berlebihan. Kelebihan mana dijual kepada suku Xiong Nu, bertambahlah kekuatan suku itu. Agar kekuatan suku itu tidak menjadi ancaman terhadap keamanan Tiongkok, kaisar mem berlakukan embargo perdagangan senjata terhadapnya.
Sebagai balasan, suku XiongNu menyerang daerah (kini bernama) ShanXi dalam tahun 200 BC.
Perang berakhir tahun 198 BC, kekaisaran Han mengalami kekalahan, serta menelan kepahitan; berupa kesepakatan setara antara suku dan kekaisaran melalui pernikahan anggota keluarga istana Han dan pemimpin suku XiongNu, dan bahwa kekaisaran pun harus memenuhi kebutuhan suku akan makanan, anggur dan pakaian sutera.
Kaisar GaoZhu turun tahta tahun 195 BC karena alasan kesehatan, permaisuri LyHou menggantikan menjalankan pemerintahan mengingat puteranya (Liu Ying) dipandang tak layak memerintah, hal sama berlaku atas kedua adiknya Liu Gong dan Liu Hong.
Mantan kaisar GaoZhu wafat tahun 188 BC. Saat mana pemerintahan masih dikendali kan permaisuri GaoZhu sampai tahun 180 BC, menyerahkan tahta kepada putera ke 4, Liu Heng, yang bergelar kaisar Wen.
Kaisar Wen (180-157 BC) adalah pribadi yang sederhana. Pemerintahannya memberi perhatian besar pada rakyat antara lain dengan kebijakan peringanan pajak.
Demi perdamaian di tabal batas, diadakannya perjanjian dengan LaoShang ChanYu (174-160 BC), penerus Modu ChanYu dari suku XiongNu; kesepakatan yang membuka kembali perdagangan di pasar perbatasan, kedua pihak harus ‘menghormati’ tapal batas.
Sementara itu, dalam pemerintahan sendiri, kekaisaran Han sedang menghadapi persoalan; kesetiaan raja-raja sangat meragukan, karena itu sidang istana dalam tahun 157 BC menetapkan, bahwa raja-raja muda harus anggota keturunan keluarga Liu, anggota keluarga dekat kaisar.
Pengangkatan raja-raja muda dari keluarga kaisar sendiri ternyata bukanlah jaminan kesetiaan. Dalam tahun 154 BC, semasa pemerintahan kaisar Jing (157 – 141 BC), tujuh kerajaan bergabung mengadakan pemberontakan. Setelah menumpasnya, kekaisaran menetapkan serangkaian kebijakan baru, yang sangat membatasi kekuasaan raja-raja muda.
Setiap kerajaan dipecah lagi, menjadi kerajaan-kerajaan lebih kecil wilayah kekuasaan, dengan demikian jumlah kerajaan bertambah, lipat ganda. Raja tidak diperkenankan memilih staf pribadi, kekaisaran yang mengaturnya. Kerajaan-kerajaan tidak dihapus, namun tidak dibiarkan hidup dan bebas bertumbuh.
Menumpas suku XiongNu.
Melihat kenyataan, betapa pimpinan bawahan ChanYu masih melanggar perbatasan, melintasi tembok raksasa bersama anggota pasukan untuk beroleh barang barang kebutuhan, kaisar Wu (141 – 87 BC) pun meninjau ulang perjanjian, yang dibuat semasa pemerintahan kakeknya (kaisar Wen) dengan suku itu. Namun, konsensus sidang tahun 135 BC, memilih mempertahankan perjanjian itu.
Tahun berikutnya, sidang di istana menyetujui idea akan pembunuhan atas diri ChanYu, dengan harapan bahwa suku tadi akan mengalami chaos oleh ketiadaan pemimpin, rencana dijalankan tahun 133 BC dan mengalami kegagalan.
Kepalang basah, kaisar segera memerintahkan penyerangan besar-besaran ke wilayah suku XiongNu, dan berhasil baik, satu persatu pemimpin suku itu ditangkap.
Pemenuhan kebutuhan logistik suku XiongNu di-embargo dengan efektif. Pengawasan kegiatan perdagangan di perbatasan diperketat, penyergapan dadakan di pasar gelap dilakukan dari waktu ke waktu. Dalam tahun 121 BC lebih 500 orang pedagang ‘gelap’ tertangkap dan di eksekusi.
Puncak peperangan terjadi di Mobei tahun 119 BC. Dua panglima kekaisaran bernama Huo QuBing dan Wei Qing, membuat suku XiongNu tergusur ke gurun pasir Gobi.
bersambung . . .