Mengapa Kita Takut Mati?

Menjelang tidur pulas, seorang sahabat teringat bahwa setiap orang akan mati, saat itu juga hilang rasa kantuk. Sahabat itu tidak sendirian, karena kebanyakan orang memang takut mati. Tetapi, pada kerusuhan Mei 1998, ada yang telah bersiap mati menghadapi penyerbu rumahnya. Ada nilai bagi setiap orang, yang pantas untuk dipertukarkan dengan nyawanya . . .

Pernah seorang sahabat bercerita, bahwa ada saat dikala sedang melindur menjelang pulas, terbersit dalam ingatan bahwa setiap orang akan mati; seketika itu hilang rasa kantuk, bangkit dari berbaring, setelah itu ia tidak dapat tidur selama beberapa jam.

Hidup adalah karunia, begitulah pendapat banyak orang khususnya selagi menikmati nya. Namun rasa bahagia atas kenikmatan hidup dapat terusik begitu bayang-bayang kematian muncul dalam pikiran.

Sahabat itu tidak dapat menerangkan apa yang membuatnya teringat akan kematian yang mengganggu perasaannya. Namun ia tidak sendirian; sangat banyak orang yang berperasaan sama terhadap kematian.

Mengapa kematian demikian menakutkan, bukankah setelah mati tidak ada lagi derita dunia, tiada rasa sakit? Yang religius sekalipun, tidak mau lekas mati, bertemu dengan sang pencipta atau dewa di alam kekal sana yang membahagiakan sebagaimana yang didengungkannya.

Naluri bertahan hidup.

Setiap mahluk lahir dengan bekal naluri untuk bertahan hidup yang dapat terlihat pada gerak refleks; seorang bayi menahan napas ketika ia masuk ke dalam air agar bertahan hidup lebih lama dan tangannya bergerak berenang. Pada beberapa jenis hewan gerak refleks lebih efektif, antara lain bayi kijang usia beberapa menit sudah dapat melarikan diri, bayi ular berbisa yang baru menetas dapat membunuh demi membela diri.

Selama pertumbuhan, sebagaimana lazimnya, anak mendapat pengarahan mengenai keselamatan diri, mengenai nilai kehidupan, dan banyak nilai-nilai lainnya, antara lain dari orang tua, guru di sekolah, pengaruh dalam pergaulan, media sosial dan lain-lain. Dari antara pengarahan dan pergaulan, ada nilai yang di adopt nya, ada pula nilai yang ditentangnya (ditolaknya).

Nilai mana yang di adopt nya mana pula yang ditentangnya, itulah yang berakar secara mendalam seiring pertumbuhan, menjadi identitas nya. Anak menjadi dewasa, dengan nilai-nilai yang diyakininya yang mungkin sangat berbeda dengan ketika ia masih kecil. Dan apa yang di adopt seorang anak tidak harus sama dengan anak lain, walau mereka dari keluarga yang sama.

Nalurinya sudah mengalami perkembangan. Pembentukan diri membangun semangat nya untuk mencapai nilai yang di adopt nya, menjadi semacam energy yang kuat untuk bertahan hidup, itulah mengapa ia tidak mau lekas mati, menjadikannya ‘takut’ mati.

Nilai-nilai mana membawa kepada perubahan sikap me-respond, sebagai contoh;
Ketika kanak-kanak cenderung berkelahi sebagai refleks mempertahankan mainan dari ancaman direbut, setelah dewasa memilih menelpon polisi untuk mengatasi ancaman atas keamanannya.

Contoh lain perubahan sikap me-respond, semisal petinju di atas ring tidak memejam mata sekalipun sedang dihujani tinju lawannya, melainkan tetap menatap dibalik cover kedua belah tangannya agar dapat mengelak dengan tepat, sikap bertahan yang telah terlatih oleh karena nilai-nilai yang di adopt nya. Gerak refleks memejam mata ketika masih kanak-kanak, telah hilang darinya.

Akan tetapi, apakah yang membuat orang membunuh diri? Apakah pada mereka tidak ada naluri dimaksud, tidak ada semangat berjuang untuk menggapai nilai yang mereka adopt?

Perkembangan berbagai nilai.

Dimasa purba, mempertahankan daerah berburu dan berladang merupakan nilai yang diyakini dan diperjuangkan untuk kehidupan, dan setiap saat siap berperang melawan terhadap ancaman antar sesama atau binatang buas, dengan senjata selalu di tangan.

Sepanjang perjalanan waktu, nilai-nilai lain bermunculan, dengan berkembangnya nilai sosial dan keagamaan. Pada abad tertentu, kehormatan, kepahlawanan dan kesalehan pernah menjadi nilai yang sangat populer di banyak belahan bumi.

Dimasa kini, masa dengan keamanan yang lebih terjamin dan kemajuan teknologi yang pesat, kekayaan, gengsi, kekuasaan serta penampilan mempunyai arti nilai yang sangat digandrung dalam masyarakat, boleh dikatakan setiap orang berjuang demi mendapat segala yang bersifat materi duniawi.

Nilai-nilai luhur dari masa lalu yang masih bertahan, tampaknya hanya merupakan lips service untuk memuluskan jalan mendapatkan nilai duniawi. Khususnya bagi kalangan tertentu yang begitu bersemangat, sampai-sampai menghalalkan segala cara.

Disegala masa, bagi yang bersemangat ekstra besar, kegagalan mempertahankan nilai yang dipandang sangat tinggi merupakan kematian. Kata-kata seperti: “Saya lebih baik mati dari pada orang melihat saya ke resepsi dengan gaun yang saya pernah kenakan di resepsi lalu.” mungkin bukan gertak sambal belaka.

Hal seperti ini terlihat juga pada hewan. Antara lain kalajengking, serangga bercapit ini akan membunuh diri ketika terkurung api dan tiada harapan untuk selamat. Atau jenis mamalia seperti paus yang ramai mendamparkan diri ke pantai untuk mati, dan belum diketahui dengan pasti apa yang membuat mereka memilih kematian.

Orang yang melakukan harakiri demi kehormatan, korban perkosaan yang menghabisi nyawa dengan menggantung diri, orang yang melompat dari ketinggian lantai gedung karena mendadak kehilangan kekuasaan, atau kekayaan, atau karena cintanya ditolak, mereka adalah orang-orang yang telah ‘mati’ sebelum membunuh diri.

Persiapan menjelang tiba waktunya.

Setiap mahluk hidup akan mati, thus kematian adalah bagian hidup yang tidak terpisah kan. Jadi apa perlunya merasa takut akan kematian, selagi tiada jalan menghindarinya. Mungkin yang baik dipikirkan adalah sebagai apa atau bagaimana caranya mati seperti pengalaman seorang saudagar mapan dibawah ini.

Pada kerusuhan Mei 1998, ada seorang sahabat penulis tidak sempat membawa pergi keluarganya dari Jakarta. Sebagai tindakan antisipasi, dipersiapkan berbagai peralatan miliknya yang dapat dipakai sebagai senjata untuk disembunyikan di beberapa tempat halaman belakang rumahnya.

Apabila penyerbu datang, ia akan menunggu mereka di halaman itu dan menggunakan peralatan tadi untuk melawan. Ia menyadari sepenuhnya bahwa kemungkinan selamat dirinya sangat kecil melawan para penyerbu. Tetapi sudah menjadi tekadnya bahwa ia akan menghabisi sebanyak mungkin mereka sebelum ia sendiri tewas.

Beruntung bahwa apa yang dikuatirkan tidak terjadi, mengingat lokasi dimana sahabat itu bertempat tinggal mengalami suasana sangat mencekam. Ketika bertemu, katanya:
“Lebih baik mati berkubang darah sendiri setelah melawan, ketimbang mati berkubang air kencing sendiri karena ketakutan.”

Pada pandang setiap orang tentu ada nilai yang baginya pantas diperjuangkan, bahkan mungkin bersedia dipertukarkan dengan nyawanya. Kematian untuk suatu nilai besar, bermanfaat bagi keluarga serta orang lain, membuatnya tetap hidup dalam kenangan.

Orang religious meyakini bahwa bilamana waktunya akan tiba, Yang Maha Kuasa akan terlebih dulu mempersiapkan dirinya, bahkan membuatnya rindu untuk lekas bertemu dengan sang Pencipta.

Tentu diantara pembaca budiman banyak yang takut mati, sama seperti penulis. Tetapi apakah yang sebenarnya menimbulkan rasa takut mati menurut anda?
Ataukah diantara pembaca budiman ada yang tidak takut mati? Tentu bermanfaat dan menarik untuk dibagikan kepada kita semua.