Harga sebuah Pesta.

Malam ‘Cinderella’ bagi Jeanne usai lewat tengah malam. Saat perjalanan pulang, Jeanne masih mengenang suasana bangga akan dirinya yang baru dialami. Setiba di rumah, ia tak segera bersalin pakaian, ia berputar di muka cermin mengagumi diri. Dan apa yang dilihatnya kemudian sungguh mengejutkannya.

Pada awal abad ke 20, di Perancis, adalah pasangan muda, Henri dan Jeanne. Menikah dua tahun dan belum mendapat anak, mereka hidup sederhana tetapi berkecukupan. Henri bekerja di kantor walikota sebagai asisten akuntan, sedangkan Jeanne di rumah dengan dua orang pembantu, kegiatan Jeanne sehari- harinya adalah menyulam atau merawat tanaman.

Suatu hari Henri pulang dengan wajah berseri, memegang sebuah undangan ke pesta perayaan ulang tahun kota Paris; acara makan malam bersama menteri dalam negeri, dihadiri para pejabat tinggi diikuti acara dansa semalam suntuk. Untuk jabatan asisten walikota, undangan seperti itu adalah sesuatu yang jarang didapat.

Henri membantu Jeanne berpakaianDiluar dugaan Henri, bahwa undangan itu ditanggapi Jeanne dengan sikap dingin.
Setelah beberapa kali ditanyakan, Jeanne menjawab: “Perhiasan apa yang akan saya kenakan, tidakkah memalukan berkumpul bersama-sama nyonya para pejabat yang berpenampilan serba mewah, sementara saya tanpa perhiasan?”

Setelah berpikir sebentar, Henri menyaran kan agar meminjam perhiasan dari teman.
“Ah benar, mengapa tidak terpikir? Besok saya akan mengunjungi Monique di rumah nya, ia sahabat di sekolah sejak kecil, tidak kah engkau ingat bahwa ia menikahi saudagar kaya? Dan ia sangat baik hati.” Dengan bersemangat Jeanne menerima usul suaminya.

Keesokan hari, di ruang tamu rumah Monique yang mewah bagai istana, dua sahabat lama berbincang. Mendengar maksud kedatangan Jeanne, dengan spontan Monique mengeluarkan sejumlah kotak berisi perhiasan, semua indah cantik berkilau.

Setelah agak lama mengagumi satu persatu, akhirnya pilihan Jeanne jatuh pada seutas kalung liontin ber-tahta beberapa butir berlian. Dengan riang ia pulang, dengan kotak berisi kalung itu ditangannya.

Malam resepsi tiba, setelah berpuas memandang cermin mengagumi diri, dalam gaun malam indah buatan sendiri dan kalung mewah terjuntai di leher jenjangnya, mereka berangkat dengan kereta kuda sewaan (taxi zaman itu). Setiba disana, aula telah ramai dengan para tamu undangan. Banyak tamu terpana dan memuji kecantikan Jeanne.

Sungguh bahagia Jeanne malam itu. Ia benar-benar menikmati pandang kagum orang atas penampilannya. Dalam acara dansa, bergantian pejabat menunggu giliran untuk berdansa dengannya. Berbunga-bunga hati Jeanne, berdansa dengan langkah anggun tanpa merasa lelah, sedang Henry duduk menunggu dibelakang meja makan.

Jeanne ditengah pesta dansaMalam “Cinderella” bagi Jeanne usai lewat tengah malam. Didalam perjalanan kereta mengantar mereka pulang, Jeanne masih mengenang suasana berbangga diri yang baru saja dialami, disebelahnya terkantuk Henri duduk melenggut.

Tiba di rumah, tidak bersegera Jeanne ber salin pakaian, ia berjalan, berdiri, berputar di muka cermin, mengagumi diri.
Dan, betapa terkejut ia melihat kalung itu tidak ada lagi di lehernya!

Dilihatnya lipatan gaun, bagian dada, juga tidak ada. Henri tersentak dari kantuk dan ikut mencari dalam saku jas, saku kemeja, di lipatan scarf, tidak juga kalung itu ditemuinya.

Setelah menguasai perasaan, mereka mencari kereta kuda dan berkeliling mendatangi beberapa pangkalan kereta di kota, memeriksa setiap seluk ruang dalam setiap kereta kalau-kalau kalung terjatuh disana, sambil mencoba mengenali kereta yang membawa mereka pulang dari pesta. Pencarian tidak memberi hasil.

Hari sudah pagi ketika mereka kembali ke rumah dengan tubuh lunglai. Setelah mandi Jeanne mendatangi toko perhiasan yang namanya tertera pada penutup kotak tempat kalung. Pemilik toko itu menerangkan bahwa kotak itu memang buatan tokonya tetapi kalung seperti digambarkan Jeanne bukanlah buatan tokonya.

Keluar dari toko itu, Jeanne melihat-lihat ke toko-toko lain sepanjang jalan itu; sampai sore hari, ia mendapatkan kalung yang serupa dengan kalung pinjaman yang hilang, terpajang pada etalase sebuah toko. Setelah menanyakan betapa terkejut mengetahui bahwa harga kalung itu lebih tinggi dari pada harga rumah yang ia diami.

Malamnya berembuk, suami-isteri bersepakat membelinya. Keesokan hari, Henri pergi ke bank untuk menarik uang tabungan peninggalan mendiang ayahnya, yang bernilai sepertiga harga kalung. Di kantor, Henry meminjam sejumlah uang, ditambah dengan pinjaman dari teman-teman mereka berdua; lebih dari seminggu, terkumpullah uang untuk membeli kalung itu.

Pada hari terkumpulnya cukup uang, segera Jeanne ke toko itu. Ia bersyukur kalung itu belum ada yang membeli. Dibayarnya harga kalung, lalu segera dibawanya kalung itu ke rumah Monique untuk dikembalikan.

Agak kesal Monique menerimanya, karena telah agak lama Jeanne meminjam. Namun yang melegakan Jeanne adalah bahwa Monique tidak berkomentar setelah melihat isi kotak perhiasan itu.

Setelah itu, mulai Henri dan Jeanne menjalani hari-hari kebijakan baru agar selekasnya dapat melunasi hutang; pembantu rumah diberhentikan kerja dan segala pengeluaran lain harus ditekan, sehematnya. Untuk tambahan pendapatan uang, Henri menerima pekerjaan pembukuan lepas di rumah setelah jam kantor.

Sementara Jeanne selain melakukan segala pekerjaan di rumah, ia menerima pesanan pembuatan dan pembordiran gaun para kenalan. Sampai jauh malam, berdua mereka bekerja terkantuk-kantuk.

Hampir lima tahun pasangan itu bekerja keras melunasi hutang mereka. Henri semula bertubuh agak tambun telah menjadi laki-laki kurus. Jeanne yang cantik segar menjadi tampak bagai perempuan yang jauh lebih tua dari pada usianya.

Suatu hari minggu, Jeanne berjalan-jalan di pusat perbelanjaan sebagai pelepas duka. Dilihatnya seorang nyonya berpakaian mewah berjalan bersama seorang anak laki-laki di sebelahnya. Mengenali nyonya yang tiada lain adalah Monique, sahabatnya, Jeanne pun menyapanya.

Semula Monique tiada mengenali, setelah Jeanne menerangkan siapa dirinya, terkejut Monique: “Ya Tuhan, apa yang telah terjadi? Mengapa engkau jadi begini?”
Merasa tiada beban lagi, Jeanne menceritakan apa yang telah dialami sejak meminjam kalung dari Monique.

“Oh sahabatku Jeanne, aku jadi merasa sangat bersalah. Berlian pada kalung bukanlah berlian asli, berlian-berlian itu adalah imitasi belaka. Andai saja engkau memberitahu aku pada waktu engkau menghilangkannya, tentunya engkau tidak akan jadi begini.”

Begitulah kisah Jeanne dengan pesta undangan dari menteri.
Apakah pesan dari kisah ini? Silahkan para pembaca sendiri yang mengemukakannya.