Tradisi Imlek, Tradisi Penuh Damai.

Tradisi merayakan tahun baru Imlek sarat dengan petuah akan kebaikan, ketulusan hati, dan sebenarnya tiada berhubungan dengan agama, seolah-olah mengajarkan bahwa berbuat baik adalah kewajiban setiap orang, bahkan walau tidak ber-agama sekalipun. Tetapi kita dapat memahami, bahwa begitulah cara orang yang hidup dalam masa dynasty dulu mengemas petuah.

Sejak dahulu kala, bebersih-bersih merupakan bagian kesibukan didalam menyambut tahun baru Imlek, memenuhi kepercayaan tradisi, bahwa kebersihan dan kerapihan di rumah atau tempat usaha akan termasuk dalam laporan dewa dapur kehadapan dewa langit mengenai perbuatan dan kegiatan setiap orang di bumi.

Pada tengah malam memasuki tahun baru, giliran dewa keberuntungan berkunjung ke rumah-rumah membagikan berkat atau rezeki. Sebagai penyambutan hangat terhadap sang dewa, pada malam itu pintu-pintu rumah dipentang terbuka lebar, lampu-lampu di dalam rumah dihidupkan benderang.

Dipercaya, bahwa segala yang berada dan terkumpul di rumah merupakan lambang berkat, rezeki; karena itu, tidak dianjurkan bebersih dalam dua hari tersebut, bahkan ada yang pantang menyapu. Sampah dan limbah perayaan, betapapun banyak, tidak dibuang melainkan dikumpul dan dibuang pada hari ke tiga atau sesudahnya. Tanggal 3 disebut sebagai hari membuang sampah.

Semua bisnis yang libur pada tahun baru, memulai kembali kegiatan pada hari ke dua, atau hari ke empat, atau hari berikutnya. Dianjurkan agar menghindari memulai kegiatan pada hari membuang sampah.

Kebiasaan yang terbentuk oleh kepercayaan lama berkembang menjadi tradisi dijalani sebagian besar dalam kalangan Tionghoa sampai saat ini, walaupun mungkin sebagian dari yang menjalaninya tiada menyadari apa yang melatar belakangi kebiasaan leluhur. Memperlihatkan bahwa kuatnya mempertahankan tradisi, adalah nature (pembawaan alami) orang Tionghoa pada umumnya.

Umat berbagai agama yang merayakan tahun baru Imlek didapati bebersih menjelang tahun baru. Anjuran bebersih tidak dilihat sebagai kepercayaan lama, ataupun tahayul, melainkan sebagai petuah. Bukankah membersihkan rumah atau tempat usaha adalah sesuatu yang baik dan perlu, setidaknya untuk dilakukan setahun sekali?

Semangat perayaan Tahun Baru Imlek.

Tradisi perayaan tahun baru Imlek sarat dengan petuah akan kebaikan dan perbaikan; petuah akan ketulusan dan perbuatan amal, walaupun tidak berkaitan dengan agama. Seolah-olah mengajarkan bahwa kebajikan hendaknya diperbuat setiap orang, bahkan sekalipun oleh orang yang tidak ber-agama.

Kegiatan dan semangat merayakan tahun baru Imlek, yang semula bagaikan semacam kepercayaan, seiring berjalan waktu berkembang menjadi kebiasaan yang menggairah kan, terlihat pada suasana lingkungan, sikap dan tindakan orang yang merayakannya.

Selama 15 hari terasakan kental suasana hangat antar anggota keluarga, sahabat serta tetangga, saling mengucapkan selamat dan saling bermaafan. Mengunjungi orang tua, atau orang yang ‘di-tua-kan’, di kampung halaman atau bertempat tinggal berjauhan, merupakan bentuk penghormatan dan mempererat tali kekerabatan.
Semua bergembira, perasaan kesal atau amarah, hendaknya dijauhkan secara intens, sampai-sampai marah kepada anak atas kenakalannyapun perlu ditunda.

Ucapan selamat disertai dengan berbagi Ang-Pao dan penganan diantara keluarga dan tetangga. Bersedekah kepada yang berkekurangan juga merupakan bagian dari tradisi perayaan, baik dilakukan secara ter-organisir melalui bakti sosial maupun spontanitas, individual.

Semangat perayaan tertuang dalam bentuk sajian.

Perayaan tahun baru Imlek selalu ditandai dengan berbagai penganan di rumah yang dipersiapkan pada hari-hari sebelumnya dari lauk sampai kue-kue. Penganan berbeda di setiap lokasi sesuai dengan ketersediaan bahan dan selera warga setempat, namun ada beberapa kesamaan yang menjadi ciri hidangan perayaan.

Diantara sajian yang dipersiapkan terdapat penganan lekat, seperti kue keranjang dan kue mochi, meng-isyarat-kan anjuran memperlekat hubungan dalam keluarga. Seperti mungkin telah diketahui, dalam masa perayaan tahun baru Imlek sedapatnya dihindari kejadian memecahkan benda, dimaksudkan sebagai menjauhkan kemungkinan terjadi perpecahan dalam rumah-tangga dan hubungan yang lebih luas lainnya.

Rasa manis semua kue-kue, me-refleksi sikap manis menyambut kunjungan (New Year Visit, atau Pai-Chia). Di beberapa kota di Indonesia, terdapat sajian buah Atep (Kolang-kaling) agar berpendirian mantep (mantap/teguh), Agar-Agar sebagai pengingat untuk menjaga keadaan phisik yang segar. Ada juga yang melengkapi dengan kue Lapis Legit, kue yang diperkenalkan dalam zaman kolonial Belanda.

Ikan bandeng biasanya menjadi penganan saling berbagi antara tetangga dekat. Entah bagaimana mulanya, tetapi anak yang menyantap masakan ikan bandeng diharapkan menjadi anak yang patuh dan berbakti kepada orang tua.

Perayaan tidak mengenal diskriminasi.

Semangat perayaan Imlek tak mengenal perbedaan etnis, agama; saling berbagipun terbuka atas setiap orang, yang berpartisipasi merayakan. Di berbagai negara, warga setempat ambil bagian meramaikan, memainkan tari Naga dan tari Singa.

Festival yang meramaikan jalan-jalan berbagai kota di banyak negara, melibatkan banyak orang dalam kegiatannya, berbiaya sangat tinggi. Festival mana tidak ditujukan melulu untuk orang Tionghoa saja, melainkan untuk setiap orang, menjadikannya daya tarik bagi tourist, diantaranya seperti yang digelar di Hollywood. Sementara di tempat lain, festival diadakan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakan setempat.

Keterbukaan perayaan Tahun Baru Imlek membangkitkan enthusiast para participant yang meramaikan. Dalam gambar insert memperlihatkan group yang terdiri mayoritas warga non Tionghoa, sedang bersiap menggelar tari Naga, di jalan di kota Manchester, Kerajaan Britania.

Tidaklah berlebihan pendapat, bahwa perayaan Tahun Baru Imlek meluas diatas bumi, karena kegiatan yang positip, lintas agama tanpa diskriminasi, masa perayaannya juga lebih panjang dari pada perayaan Tahun Baru Gregorian.

Begitulah perayaan tahun baru Imlek yang pada masa dulu diwarnai kepercayaan lama telah menjadi tradisi men-dunia. Kepercayaan mana timbul oleh karena keadaan pada masa dynasty di Tiongkok, dan keterbatasan orang pada zaman itu dalam mengemas petuah. Namun orang berakal pada zaman ini niscaya dapat menangkap pesan positip yang terkandung dalam petuah-petuah itu.