Sebuah kisah lama rakyat timur tengah.
Adalah seorang pengelana bernama Efendi, yang akrab dengan panggilan papa Efendi. Julukan papa (si hina) diberikan untuk penampilannya yang lugu sederhana. Ia ramah, tetapi tidak gentar menghadapi kezoliman. Ia suka berkelana dan kemanapun ia pergi, banyak orang jelata menyukainya.
Suatu hari ia memasuki sebuah kota kecil, bermaksud menetap sementara dan hidup dengan bercocok tanam. Ketika itu kebetulan menjelang hari raya, warga disana akan merayakan dengan menyantap makanan gorengan. Sebagai pendatang ia beradaptasi dan bergabung bersama tetangga, mempersiapkan penggorengan di halaman rumah mereka. Efendi mendapat bagian kerja, mencari minyak goreng.
Apa mau dikata, sediaan minyak goreng di pasar telah habis terjual, kesana kemari ia mencari tidak juga mendapat minyak.
Kesibukan Efendi diamati beberapa orang yang bersimpati kepadanya, memberinya sebotol minyak goreng, gratis.
Para tetangga bergembira, melihat Efendi pulang dengan sebotol minyak goreng, api segera dinyalakan, minyak pun dituang ke dalam kuali.
Beberapa saat kemudian aroma tak sedap terasa menyengat penciuman, aroma berasal dari kuali. Mereka menelitinya, ternyata yang diterima Efendi dalam botol tadi bukan minyak goreng, melainkan air kencing.
Dari keterangan tetangga, tahulah Efendi bahwa orang-orang tadi adalah anak buah si kaya, yang gemar mengganggu warga semena-mena. Padahal, kuali yang akan mereka gunakan untuk menggoreng disewa dari si kaya, boss orang-orang itu.
Keesokan hari Efendi mendatangi si kaya dengan membawa sebuah kuali kecil. Kepada nya disampaikan kabar bahwa kuali sewaan telah melahirkan. “Lihatlah betapa mungil anak kuali anda, saya membawanya untuk menyerahkannya kepada anda.”
Tentu saja si kaya yang kikir merasa senang, sambil membathin: “Betapa bodoh Efendi, bukankah dengan berbuat begini ia kehilangan sebuah kuali kecil?” Ketika Efendi akan pulang, si kaya memberi salam dengan berkata: “Semoga kualiku lekas melahirkan lagi ya, Efendi?” Orang yang berada disekeliling turut mentertawakan Efendi.
Beberapa hari kemudian, pada jatuh tempo pengembalian kuali sewaan, Efendi datang kepada si kaya. Dengan wajah yang sedih ia menyampaikan bahwa kuali sewaan telah meninggal. “Bagaimana mungkin kuali meninggal, Efendi?” hardik si kaya.
Dengan tenang dijawab Efendi: “Lazimnya mahluk hidup, ia bisa melahirkan tentu bisa pula mati. Ia sudah dimakamkan tadi pagi.”
Orang disekeliling, yang juga menyaksikan ketika Efendi menyerahkan anak kuali pada beberapa hari lalu mendengarkan dan mengangguk-angguk.
Betapa geramnya si kaya, ia kehilangan kuali besarnya tanpa dapat berbuat apa-apa. Menggali makam adalah perbuatan haram disana. Sejak hari itu tingkah anak buah si kaya makin menjadi-jadi mengusik ketenteraman, sehingga Efendi berketetapan untuk berkelana lagi agar warga tidak menjadi korban, namun ditunggunya saat baik untuk memberi pelajaran kepada si kaya sebelum ia pergi.
Saat yang ditunggu tiba, si kaya menderita sakit semacam sariawan. Serongga mulut di penuhi sariawan, berhari-hari tidak dapat mengunyah makanan. Menuruti sifat manja nya, diumumkanlah undangan kepada tabib untuk mengobatinya. Sudah banyak tabib mencoba tanpa hasil.
Efendi mengajukan diri, dengan berpakaian layaknya tabib ia datang ke rumah si kaya. Dari jauh telah terdengar teriak marah-marah si kaya di tempat tidurnya. Kedatangan Efendi disambut baik anak buah si kaya, yang sedang bingung dengan sikap boss yang manja dan temperamental.
Tanpa berucap sepatah kata, Efendi langsung mendekati si kaya di pembaringannya, dikeluarkannya kantong kertas dari balik jubahnya, dicengkramnya pipi si kaya agar ia mengangakan mulut lebar-lebar, lalu isi kantong kertas berupa bubuk dituangkannya, seluruhnya dituang ke dalam mulut si kaya.
Setelah itu dikatubkannya kembali mulut si kaya, seraya berkata: “Diamkan saja dalam mulut, tahan selama mungkin, agar obat cepat bekerja.” Si kaya hanya terdiam dengan perlakuan Efendi. Tanpa menunggu tanggapan, Efendi minggat dari rumah mewah itu.
Dengan penuh berharap akan kesembuhan, si kaya berbaring diam dengan mulutnya terkatup, menuruti pesan tabib gadungan tadi. Beberapa jam berjalan, makin lama si kaya makin merasa mual. Akhirnya, tidak tertahankan lagi, ia memuntahkan isi mulut kelantai, diamatinya cairan kekuningan di lantai yang berasal dari dalam mulutnya.
“Obat apakah ini? Jelas-jelas ini adalah kotoran manusia! Dan tabib tadi mirip si papa Efendi. Lekas kejar dia!”
Serentak anak buah si kaya mencari Efendi ke seantero penjuru. Efendi tidak ditemui, karena ia telah pergi jauh menunggangi keledainya, ia berkelana lagi.
Si kaya tidak dapat melampiaskan marahnya kepada Efendi. Tetapi sejak saat itu sikap prilakunya berubah, tiada lagi semena-mena menekan warga, anak buahnya pun tidak lagi mengganggu ketenteraman disana.
Apakah pesan dari kisah ini menurut pembaca yang budiman?