Disebuah kota kecil adalah seorang pemuka agama yang saleh. Warga kota dan sekitar mengenalnya sebagai tokoh teladan; ia digandrungi umat se-agama, dihormati warga berbeda agama. Setiap tampil berkhotbah tempat selalu dipadati pengunjung.
Suatu malam, dalam mimpinya, ia melihat seorang lewat paruh baya sedang tepekur ditempat ibadah, berdoa dengan hikmat.
Menarik perhatiannya adalah, di wajahnya tampak mengalir air mata, meng-ekspresi ketenangan dan kebahagiaan.
Pemandangan itu sangat mencengangkan nya, karena ia sendiri yang telah menjalani kehidupan saleh lebih dari dua puluh lima tahun tidak pernah mengalami hikmat doa yang seperti itu.
Selesai orang itu dengan doanya, ia mendekatinya. Setelah menyalami, ia mengajaknya bercengkrama, menanyakan apa yang telah diperbuat sehingga pendekatan doa dapat demikian intens. Orang itu menjawab: “Ketahuilah saudaraku, setiap orang yang telah mengecap manisnya sorga, dapat merasakan hikmat total kehadiran sang Pencipta.”
“Lalu, apakah kiranya yang harus kita perbuat agar dapat mengecap manisnya sorga?” tanya tokoh kita. Jawab orang itu: “Siapapun yang telah melakukan perbuatan tercela kemudian bertobat, saat itulah ia mendapat hikmat, saat itulah ia mengecap manisnya perbuatan yang terpuji.”
Terbangun dari tidur, melihat sekeliling, mimpi itu terasa seperti nyata terjadi. Berhari- hari mimpi itu menguasai pikirannya, hasrat mengecap manisnya sorga yang dikatakan orang dalam mimpi, mendorongnya untuk melakukan perbuatan terlarang, sekali saja! Dipilihnya perbuatan tercela kecil, yang tidak merugikan orang lain; dengan ber-mabuk minuman.
Suatu malam ia keluar rumah, dengan berpakaian agak menutupi wajah, mengunjungi sebuah diskotik, cahaya terang temaram membantunya menutupi identitas. Ditemani wanita penghibur berasal dari kota berjauhan, kekuatiran dikenali perlahan memudar. Ia akrab mengobrol dengan teman kencan yang rajin menuangkan minuman ke dalam gelasnya.
Malam makin larut, ia makin hanyut; wanita yang menemani tampak bertambah cantik menggoda. Waktu tutup diskotik, ia tidak pulang ke rumah, melainkan bersama wanita itu ke tempat kost nya, lokasi dimana banyak wanita lain se profesi bermukim. Laki-laki yang belum berpengalaman menghadapi wanita perayu bermalam disana, ia berasyik-masyik diluar kendali.
Menjelang subuh, ketika ia melangkah keluar pintu tempat itu untuk pulang ke rumah, apa mau dikata, berpapasan dengan seorang peronda yang kebetulan lewat, segera ia mengenalinya: “Oh bapak . . . , juga senang pelesiran?”
Terkejut, malu serta kekuatiran akan tersebar nya berita atas kelakuannya ini, berbaur menjadi satu. Tanpa berpikir panjang lagi, diambilnya batu, dipukulnya berulang-ulang kepala peronda. Teriakan minta tolong si peronda berakhir dengan tewasnya ia.
Suara gaduh di keheningan pagi mengundang beberapa warga di sekitar yang rupanya telah bangun tidur. Mereka berdatangan ke lokasi kejadian, sebentar saja telah ramai berkerumun, segera menyadari bahwa telah terjadi pembunuhan, dengan tokoh yang selama ini mereka gandrungi sebagai pelakunya.
Keheranan mereka tidak berlangsung lama, berganti dengan kemarahan. Entah siapa yang mulai, mereka beramai-ramai mengeroyok, memukulinya, dengan menggunakan segala benda yang diraih dari sekeliling lokasi. Tidak lama kejadian, tewaslah tokoh ini.
Perbuatan tercela kecil yang dicobanya dengan minuman, tanpa disadari menyeretnya ke dalam dua perbuatan tercela yang besar yaitu perbuatan asusila dan pembunuhan. Yang lebih memperparah keadaannya adalah bahwa ia tidak sempat bertobat sebelum kematian menjemputnya.
Kehidupan saleh yang telah dijalani, reputasi lebih dua puluh lima tahun, runtuh hanya dalam satu malam. Nun di sana, setan hitam yang telah merasuki dalam mimpi tokoh, sedang mendapat ucapan selamat rekan-rekannya atas keberhasilan menjerumuskan satu lagi manusia ke dalam lembah penguasaan mereka.
Pembaca budiman, adakah pesan untuk disampaikan kepada tokoh ini?