Pembagian Warisan.

Bunyi wasiat membingungkan, mereka menerima uang tetapi pikiran dipenuhi teka-teki. Berhari-hari memikirkan bagaimana sebaiknya menggunakan uang yang nilainya tiada kecil, namun tidak cukup untuk memulai usaha yang memadai. Akhirnya, ia memutuskan untuk mendahulukan cintanya. Ia melamar Jane, siapa menerimanya dengan senang hati.

Adalah sebuah keluarga pengusaha kaya raya, beranakan dua; John anak kandung dan Jane anak yang di-adopt sejak balita dari sebuah panti yatim piatu; kedua orang tuanya telah lama meninggal dalam kecelakaan penerbangan.

John melamar Jane

Berbeda dengan John, anak muda ganteng aktif dalam bergaul namun tanpa memilah mana yang baik. Masa remajanya dipenuhi catatan kenakalan, belum lagi berapa dana yang dikeluarkan, pengganti kerugian atas kerusakan akibat kenakalannya. Karena itu ayahnya mengirimnya ke boarding school, yang terkenal keras pendisiplinan, di kota lain.

Lulus sekolah, melanjutkan ke perguruan tinggi di kota yang sama, John berprestasi belajar sangat baik dan terpilih untuk bekerja pembantu laboratorium. Hanya sesekali saja ia pulang, termasuk ketika ibunya meninggal.

Sebenarnya John adalah anak baik, berhati lembut, kalau saja tidak terpengaruh dalam pergaulan anak-anak sebaya dilingkungan yang sangat nakal. Dan iapun sangat sayang orang tua dan adik tirinya.

Setelah di wisuda, ia kembali ke kota asalnya. Bersama adiknya, ia membantu ayahnya yang menderita kelumpuhan, menjalankan perusahaan. Rasa sayangnya terhadap adik tiri perlahan berkembang menjadi cinta terhadap kekasih, yang disambut dengan baik.

Hanya sebulan saja ia berkumpul bersama ayahnya, yang lumpuh total tidak dapat lagi berbicara. Pengusaha itu meninggal tanpa pesan, namun sempat ia melihat perubahan pada diri John yang menggembirakan hatinya.
Beberapa hari setelah pemakaman, John dan Jane datang memenuhi undangan kantor pengacara untuk mendengar pembacaan wasiat yang dibuat beberapa tahun lalu.

Isi wasiat meng-isyaratkan pengacara untuk menyerahkan uang tunai kepada John dan Jane, masing-masing seratus juta rupiah. Dalam waktu tujuh hari sejak hari itu, mereka diharapkan datang ke kantor pengacara untuk memberi laporan mengenai yang telah diperbuat dengan uang itu.

Selesai pembacaan, uang diserahkan. Tiada keterangan tambahan, tiada pula jawaban atas pertanyaan. Mereka pulang dengan uang dan pikiran dipenuhi oleh teka-teki akan maksud dibalik wasiat.

Berhari-hari John memikirkan bagaimana sebaiknya menggunakan uang yang nilainya tanggung. Nilai itu tidak sedikit tetapi tidak cukup untuk memulai usaha yang memadai sesuai dengan latar pendidikannya. Disisi lain ia sedang memikirkan rencananya untuk hidup bersama Jane sebagai pasangan.

Akhirnya, ia menetapkan untuk mendahulukan cinta. Pada pikirnya, walau ia berharap jatuhnya warisan ke tangannya, namun apalah yang dapat dilakukan sekiranya si ayah tidak berkenan mempercayakan warisan kepadanya dikarenakan kenakalannya masa remaja.

Di pagi hari, John melamar Jane untuk menjadi isterinya. Terkejut namun senang, Jane menjawab dengan ‘yes’. Hari itu juga mereka menghadap ke kantor catatan sipil, serta tempat ibadah untuk meresmikan status.

Rencana John menikahi idaman hati berjalan lancar, walau sederhana. Betapa bangga mengingat ketika di muka altar ia mengenakan cincin bertahtakan berlian ke jari manis Jane lalu jarinya dikenakan cincin serupa, diikuti sorak teman-teman yang juga muncul sebagai surprise untuk Jane.

Pada keesokan hari, tenggat waktu yang ditentukan kantor pengacara, masing-masing meletakkan amplop berisi laporan penggunaan uang yang mereka terima minggu lalu, di atas meja. Sebelum membuka amplop, pengacara membacakan tambahan kalimat pada wasiat, yang merupakan sambungan pembacaan sebelumnya.

Yaitu bahwa, siapa dari antara berdua telah menggunakan uang tersebut dengan lebih bijaksana, ia lah yang berhak atas 80% dari warisan, sedangkan yang lainnya mendapat 20% dari warisan.

Amplop Jane dibuka pertama oleh pengacara; uang yang diterimanya telah digunakan membeli saham perusahaan keluarga sendiri, untuk memperbaiki nilainya yang anjlok karena meninggalnya ayah mereka. Melihat itu para pengacara mengangguk kagum.

Giliran amplop John yang akan dibuka, ia menarik kembali amplopnya sambil berkata: “Tidak usah dilihat, karena saya menghabiskan uang itu dalam taruhan pacuan kuda.” Lalu dirobeknya sendiri amplopnya.

John bangkit dari duduknya, berjalan seorang diri keluar ruang sambil bersiul senang, menunggu isterinya, Jane, di halaman depan kantor itu.
Keruan saja pengacara dibuat terperangah atas sikap John, karena dengan demikian ia mewarisi bagian kecil dari kekayaan ayahnya.
_______________________________________________

Bagaimana sebenarnya John menggunakan uang itu, tiada lain adalah untuk membeli cincin pernikahan mereka.
Para pengacara tidak mengerti mengapa John baik-baik saja dengan 20% warisan yang menjadi bagiannya. Akan tetapi pembaca budiman tentu memahami dengan baik atas sikap John itu.