Sejak masa dynasty Ming, perempuan di Tiongkok mengenakan penjepit rambut; tusuk konde dan perlengkapan lainnya pada rambut. Secara tradisi accessories itu dikenakan bukan saja sebagai penahan gaya tatanan rambut atau hiasan kepala, melainkan yang terutama adalah sebagai simbol status sosial dalam masyarakat.
Seorang gadis, perempuan belum menikah, ditandai pada gaya rambutnya yang dijalin (kepang) satu ditengah belakang atau dua disisi kiri-kanan, dengan hiasan jepit rambut tertentu. Sedangkan perempuan menikah dikenali karena konde (bersanggul) belakang kepala dan ber-tusuk konde.
Berbanyak jenis tusuk konde dibuat orang, dari berbahan logam mulia, seperti emas, perak, perunggu, dari bahan organik kayu, bambu, tanduk, tulang, gading, cangkang kura-kura, atau bebatuan antara lain batu kumala (giok), bahan gelas dan lain lain.
Jenis tusuk konde dapat dilihat di HairPin museum, Taiwan.
Kualitas tusuk konde bergantung kepada jenis bahan dan kehalusan pembuatannya terlihat pada hiasan ukiran, demikian pula dengan harganya. Kualitas tusuk konde menandai tingkat sosial-ekonomi keluarga.
Tusuk konde dihadiahkan keluarga kepada anak perempuan, pada jelang usia remaja.
Adalah kebiasaan pada masa dulu, tusuk konde dijadikan simbol ikatan pertunangan, kekasih perempuan memberi tusuk konde miliknya untuk disimpan kekasih laki-laki.
Pada saat upacara pernikahan, tusuk konde akan disematkan mempelai laki-laki pada rambut mempelai perempuan.
Berlainan dan berlawanan dengan masa kini, bahwa mempelai laki-laki yang memberi tanda pertunangan antara lain berupa cincin pertunangan kepada kekasih perempuan.
Perempuan yang telah berkonde, tidak lagi dipanggil dengan nama kecilnya, ia disapa dengan sebutan ‘nyonya’ dan diikuti nama keluarga suaminya, ia layak diperlakukan warga lingkungan sebagaimana perlakuan terhadap suaminya. Laki-laki iseng pun tak akan bersikap gegabah terhadapnya, agar tidak dipermalukan orang, atau berurusan menghadapi keluarga suami sang nyonya.
Sebaliknya, perempuan yang telah menikah seyogyanya berprilaku baik, demi menjaga status keluarga, terlebih bilamana suaminya berasal dari keluarga terhormat.
Demikian tata krama zaman dulu, zaman pengawasan sosial yang sangat intens dalam masyarakat lingkungan yang luas, termasuk atas status perempuan ber-konde.
Janda setelah suami meninggal, tidak harus menanggalkan konde-nya. Walaupun tidak tertutup kemungkinan baginya untuk menikah lagi, akan tetapi merupakan kasus berat untuk dirembukkan dalam keluarga, khususnya apabila ia telah melahirkan anak-anak pewaris bagi keluarga itu.
Selama belum menikah lagi ia tetap tinggal sebagai bagian dari keluarga suami.
Adapun laki-laki meminati janda yang masih muda dengan kasus lebih ringan, semisal jikalau keluarga mendiang suami tidak mengandalkan anaknya sebagai pewaris. Upaya laki-laki menarik perhatian janda tadi dikenal dengan sebutan ‘memancing konde’.
Fungsi Sexual, penghemat energy Yang.
Sebagaimana dalam artikel Tradisi Sex di Tiongkok, bahwa menurut ajaran Tao, tubuh laki-laki memiliki keterbatasan energy Yang (tak seperti halnya dengan energy Yin pada perempuan). Karena itu, perlu diperhatikan akan penghematannya, agar tidak terjadi penghamburan energy yang merugikan bagi kesehatan si laki-laki, yang bahkan dapat membawanya kepada kematian.
Entah sejak kapan dimulai, akan tetapi kemudian menjadi bagian tugas isteri sewaktu berhubungan intim, yang menjaga agar ejakulasi suami tidak terjadi secara berlebihan dengan menggunakan tusuk konde sebagai alat yang mudah dicapai karena terselip di rambut atau diletakkan di tempat tidur.
Pada saat suami akan mencapai orgasme, isteri bersiap dengan tusuk konde di tangan, untuk dicucukkan pada bagian bawah tubuh suaminya. Tidak jelas, bagian tubuh mana yang sensitive untuk dicucuk, mungkin perlu dicobakan beberapa kali, sampai didapat titik yang tepat, mengingat tempat sensitive setiap orang berbeda. Tujuan pencucukan adalah agar tubuh suami mengalami kejut, menghentikan ejakulasi, thus menghemat energy.
Begitu penting penghematan energy suami sehingga isteri turut berpartisipasi, khusus- nya apabila si suami beristeri lebih dari seorang. Begitulah kesetiaan isteri pada masa itu, pada masa kini mungkin sulit didapat kesetiaan isteri semacam itu terhadap suami yang gemar ber-polygyny, seperti kisah nyata pada Mengapa, Polygamy?
Sekiranya pembaca budiman mempunyai masukan untuk ditambahkan, dipersilahkan dalam kolom komentar, namun hendaklah menggunakan bahasa yang baik dan sopan demi menjaga kenyamanan seluruh pembaca dan sesuai tujuan berbagi pengetahuan Pro*Readers team.