Pribadi Berbudi.

Kita mungkin ber-agama, tetapi apakah telah beriman dengan benar? Atau setidaknya adakah telah menjadi pribadi berbudi, melaksanakan tugas yang menjadi bagian kita dan mensyukuri atas kebaikan yang kita terima? Atau selama ini kita melempar tanggung jawab dan kewajiban ke bahu orang lain?

Pada suatu sore, seorang pejalan melihat seorang nenek duduk di depan stasiun MRT, bersamanya ada beberapa bungkus kertas pembersih (tissue), yang sedang dijajakan. Kertas itu ditawarkannya kepada setiap orang yang lewat.

Do your part; sadar posisi.

Merasa iba, pejalan itu memberi nenek uang 5 dollar, dan tanpa menunggu tanggapan meneruskan langkah, pejalan itu tidak sedang membutuhkan kertas pembersih. Tetapi apa yang terjadi? Nenek itu bangkit dari duduknya dan dengan tertatih mengejar, serta menghadang si pemberi uang.

Mengulurkan tanganNenek itu mengajukan beberapa kantong kertas tissue dalam tangannya, bersikeras agar pejalan menerimanya. Dengan meng goyangkan tangan, pejalan menampiknya, melihat itu, nenek kembali menyodorkan uang, untuk dikembalikan kepada pejalan.

Saling tolak menolak terjadi beberapa saat hingga si pemberi menyadari keadaan lalu mengambil sebuah dari kantong kertas itu dan dengan langkah cepat berlalu.
Sebagai renungan, kita menyadari betapa nenek itu dengan konsisten menjalankan bagiannya, yaitu menjajakan kertas tissue;
ia tidak meminta dikasihani, ia sama sekali tidak sedang mengemis!

Si pemberi telah keliru meng-interpretasi, justru pejalan itulah yang tidak menjalankan bagiannya, sebagai pembeli ia membayar tetapi tidak menerima barang yang dibayar.

Setiap mahluk dibumi mendapat bagian masing-masing untuk dijalani, individual atau berkelompok. Sekiranya merasa sebagai mahluk berakal budi tertinggi sepantasnyalah manusia menyadari juga akan apa yang menjadi bagiannya untuk dijalani. Kedamaian, keamanan dan kelestarian lingkungan, sangatlah bergantung kepada prilaku manusia, bukan bergantung kepada prilaku mahluk lain.

Setiap individu dengan fungsinyaDalam hidup berkeluarga ada bagian yang yang harus dilaksanakan, untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.
Kedamaian dalam keluarga terganggu bila saja ada satu anggota mengingkari bagian nya. Serupa halnya dalam hubungan lebih luas, sosial maupun formil.

Mahluk dengan akal budi lebih rendah pun dapat memahami dan menjalankan bagian individu masing-masing.
Disayangkan manusia, berakal budi tertinggi, justru sering menyangkali bagiannya. Tak jarang yang berhutang bersikap garang kepada yang berpiutang, sadar posisi jelas tak ada pada si berhutang.

Contoh kejadian yang tidak disadari.

Mungkin pernah mendengar seloroh orang yang diantarkan pulang, ungkapan terima kasihnya berbunyi: “Tuhan yang akan membalas kebaikan anda!”
Tanpa disadari dengan ungkapan itu bahwa ia sedang mengharap Tuhan menjadi juru bayar atas kebaikan. Tidak disadari, bahwa siapa yang menerima kebaikan orang lain, dialah sendiri yang harus membayar kembali, bukan pihak lain, bukan pula Tuhan.

Hal ringan namun renungkanlah kata ungkapan yang mengingatkan kepada boss yang berbelanja, setelah itu berkata kepada pemilik toko: “Sekretaris saya akan melunaskan semua pembelanjaan saya.”

Atau pernah mendengar seru tokoh agama, yang berbangga menyatakan diri sebagai sahabat Tuhan; bukankah Tuhan sendiri yang menyatakan sebagai sahabat umat yang melaksanakan perintah-Nya?

Kita sama mengetahui, memang ada dinyatakan Tuhan demikian, dan kita memahami dan menerima pernyataan itu sebagai kebaikan-Nya, kemurahan-Nya.
Akan tetapi kita sendiri seyogyanya sadar diri, bahwa kita hanya debu di kaki-Nya. Kita hendaknya tidak melonjak terhadap kebaikan dan kemurahan yang ditawarkan.

Dalam suatu seminar iman dan penerapannya, seorang peserta mengemukakan heran nya banyak orang mengaku beriman, menyembah dikaki Yang Maha Kuasa, tetapi doa dipanjatkan dengan kata singkatan; GBU, JBU, BBU, PBU. Adakah ini benar bentuk doa, atau basa basi? Jikalau malas menulis lengkap, mengapa bersusah payah mendoakan?

Sekiranya kata singkatan dimaksudkan sebagai hal praktis, tanpa mempedulikan akan perlunya rasa menghormat kepada-Nya. Tentulah doa dan nyanyian di tempat ibadah diperdengarkan melalui rekaman saja, demi praktisnya.

Kita menuai apa yang kita tanam. Dengan doa berupa singkat-kata, atau yang bentuk rekaman, kira-kira berkat seperti apakah yang akan diturunkan-Nya? Akankah bentuk singkat-kata pula, atau bentuk rekaman pula?

Sedangkan kepada keluarga sendiri adakah digunakan singkat-kata, seperti PPM (papa merestui) atau MMMS (mama mendoakanmu selalu), ASMM (aku sangat mencintaimu) atau CKHPM (cintaku hanya padamu).

Hendaklah kita bermawas diri, berkepribadian sadar posisi; masing-masing membawa bagiannya untuk dijalani dan dijalankan. Penolong dan yang ditolong saling mengulur tangan. Walau kebaikan hanya berupa diberi jalan saat berpapasan di keramaian Mal, bukankah sepantasnya yang diberi jalan menyatakan terima kasihnya? Berupa seulas senyum atau anggukan kepala, pertanda orang berbudi.

Suatu perbuatan baik tidak harus terpuaskan dengan materi. Tanggapan positip atas perbuatan baik merupakan bentuk motivasi; sebagai pendorong kepada pelaku untuk mengulang perbuatan baiknya kepada orang lain. Memotivasi orang untuk melakukan perbuatan baik berarti berkontribusi dalam penciptaan masyarakat yang damai, suatu perbuatan terpuji.

Seorang yang tidak dapat menyatakan terima kasihnya atas perbuatan baik orang lain, ia tentu tidak dapat diharapkan melakukan kebaikan kepada orang lain dengan tulus.
Kita semua telah mendapat bagian untuk dijalankan, penerapannya berpulang kepada kreatifitas masing-masing.