Kisah terjadi di Inggris dalam awal abad ke19. Dua kakak beradik keluarga bangsawan memperdebatkan kegunaan sehelai uang kertas bernilai seribu pound sterling. Pada masa itu, hanya sedikit saja orang pernah melihat, apalagi memilikinya; seribu pound sterling, adalah nilai yang cukup untuk membangun sebuah istana kecil.
Topik perdebatan adalah; si kakak berpendapat, apabila seorang sederhana memiliki sehelai uang bernilai seribu pound sterling dan orang mengetahuinya, kepemilikannya akan dipertanyakan dan ia tentu akan mendapat masalah. Sedangkan menurut si adik, justru orang itu akan dihargai dan mendapat banyak kesempatan hidup.
Setiap bertemu dalam waktu luang, selalu perdebatan kakak beradik berlanjut, yang satu mengemukakan skenario, yang satu membantah. Berminggu berjalan masing-masing mempertahankan pendapat.
Suatu sore, tengah menikmati minum teh di ruang baca rumah mereka, dari jendela terlihat seorang pemuda berpakaian lusuh di jalan. Entah kapan terakhir ia mandi.
Bersamaan waktu lewat seorang ibu yang menuntun seorang anak. Bocah itu sambil berjalan menggigit sebuah apel ditangannya, lalu apel yang baru dimakan segigitan itu dilempar bocah ke jalan.
Pemuda itu menoleh ke kanan-kiri, setelah yakin tiada yang melihat, lalu dipungutnya apel tadi dan dimakannya, tanpa menyadari bahwa dua pasang mata memperhatikan dari balik sebuah jendela gedung mewah di seberang jalan.
Pemandangan tadi membuat kakak-beradik sepakat, menjadikan pemuda itu sebagai objek pelaku taruhan, disuruhlah pelayan memanggilnya.
Orang itu menghadap mereka, bernama Gary. Kepadanya diserahkan sebuah amplop, dan diminta datang kembali seminggu kemudian. Setelah itu Gary diantar keluar tanpa penjelasan lain.
Tidak mengerti akan maksud dan tujuan kedua bangsawan, setelah Gary berada diluar halaman gedung itu, dibukanya amplop ternyata berisi uang. Tanpa berpikir panjang ia segera mencari rumah makan untuk mengisi perut. Dilahapnya hidangan tanpa peduli pandangan pemilik rumah makan dan pengunjung lain yang meremehkannya.
Selesai makan ia membuka amplop, mengambil uang dari dalamnya untuk membayar makanan. Terkejut ia, menyadari bahwa selembar uang itu bernilai seribu pound!
Lama ia tertegun, sehingga pemilik rumah makan mendatanginya untuk melihat kalau-kalau tamu satu ini bermasalah. Dan tertegun pula ia berdiri memandangi uang diatas meja.
Setelah menenangkan diri, Gary memegang uang untuk menyerahkannya kepadanya. Pemilik rumah makan tidak berani menerima: “Tuan, saya senang memandangi uang itu, tetapi saya tidak dapat menerimanya.” Gary mencoba lagi menyerahkannya, sekali lagi ia menolaknya.
“Tuan yang terhormat, rumah makan beserta seluruh isinya tiada senilai uang itu, tuan tidak usah membayar harga makanan. Kapan saja tuan dapat kembali kesini, biar saya masukkan saja ke dalam rekening tuan.” Pada saat itu ada beberapa pengunjung lain, ikut mendekat, untuk melihat uang itu.
Beranjak dari rumah makan, Gary kembali mendatangi kedua bangsawan tetapi hanya pelayan saja yang menemuinya: “Kedua tuan kami sedang bepergian keluar kota, tuan dapat datang kembali minggu depan.”
Bingung dengan apa yang sedang dialami, tetapi tiada pilihan selain menunggu waktu seminggu untuk mengetahui apa yang diharap kedua bangsawan itu dari dirinya. Sejak hari itu Ia mengunjungi rumah makan yang sama setiap waktu bersantap.
Pada hari ketiga, pemilik rumah makan mendekatinya, berkata: “Haraplah tuan datang kemari setiap waktu makan. Berkat tuan, pengunjung yang datang ke rumah makan ini bertambah ramai. Tuan tidak perlu membayar apapun, dan kalau tuan berkenan untuk bermalam, kami telah menyediakan tempat untuk tuan.”
Memang rumah makan itu, yang semula agak sepi pengunjung, sekarang penuh padat. Mereka rela mengantre, untuk melihat si pemilik lembaran uang seribu pound, mereka ingin turut juga merasakan selera bersantap pemilik uang besar itu. Beberapa penjahit datang mengukur tubuhnya, membuatkan pakaian gratis untuknya. Tidak ketinggalan, pemilik barbershop membawakan pencukur terbaik untuk menata gaya rambutnya.
Dalam beberapa hari saja Gary telah berubah penampilannya, ia berpakaian perlente, rapih, keren, mengundang pandang kagum, dihormati banyak orang serta digandrungi para gadis.
Waktu seminggu berlalu terasa cepat. Gary kembali mendatangi kediaman dua kakak-beradik, yang telah menjadikan dirinya bagai baru terlahir, untuk mengembalikan uang seribu pound yang masih utuh. Diceritakannya apa yang dialaminya dengan uang itu.
Si kakak kalah bertaruh, ia mengakui kecerdikan adiknya. Untuk jasanya menjadi objek pelaku taruhan, Gary mendapat hadiah seratus pound. Nilai itu lebih dari cukup untuk Gary memulai sebuah usaha kelas menengah.
Gary yang semula terlunta sederhana, tiada orang mempedulikan, telah menjadi pusat perhatian khalayak. Kemanapun ia datang, disambut dengan baik sebagai pemilik uang seribu pound, begitu sebutannya. Setiap rumah makan yang dikunjungi menjamunya, para penjahit membuatkan pakaian untuknya, perusahaan-perusahaan membukakan kesempatan kalau-kalau ia berniat bergabung, gadis-gadis pun selalu meliriknya.
Tetapi apakah sebenarnya yang dilihat orang-orang itu atas dirinya?
Persilahkan saja pembaca budiman menjawab menurut pendapat masing-masing.
Siapapun yang menangkap pesan terkandung dalam kisah ini, tentu mengerti pula apa yang perlu dilakukan dalam kehidupan ini.