Abu Nawas Menepis Jabatan.

Penjaga yang babak belur, mengadukan perbuatan Abu Nawas kepada raja. Keruan saja raja marah menerima laporan dan ia penasaran, betapa beraninya orang memukuli pengawal istana nya. Oleh karenanya, raja memanggil Abu Nawas menghadap kembali keesokan paginya.

Ada beberapa versi cerita, mengenai siapa dan apa yang diperbuat Abu Nawas sebagai pemecah persoalan. Semua menarik, diantaranya kisah yang dimulai ketika Abu Nawas suatu hari menemani, berbincang dengan ayahnya yang lanjut usia sedang menderita sakit.

“Abu Nawas, mendekatlah kepadaku, ciumlah kedua telingaku.” demikian berkata ayah yang menjabat sebagai hakim kerajaan andalan raja dalam menegakkan keadilan atas kehidupan rakyatnya. Abu Nawas melakukan apa yang diminta ayahnya, lalu katanya:  “Telinga satu beraroma harum, satunya lagi berbau busuk, mengapa begitu ayah?”

Abu Nawas“Abu Nawas, orang mengenal ayah sebagai hakim arif bijaksana memutuskan perkara. Tapi ketahuilah bahwa semasa muda pada awal karir, ayah pernah berbuat kesalahan; ayah mendengar pengaduan sepihak saja, menjatuhkan hukuman kepada pihak yang tak bersalah. Sejak saat itulah, telinga satu berbau busuk dan lainnya harum.” Begitu ayah Abu Nawas menutur.

“Sekarang ayah telah tua, dengan penyakit ini rasanya hariku sudah dekat.”
Lalu Ayah melanjutkan: “Dalam pandanganku, baginda akan menunjuk
 engkau sebagai penggantiku, bagaimanakah pendapat engkau, anakku Abu Nawas?”
Setelah berpikir sejenak Abu Nawas menjawab tidak berminat untuk menjabat sebagai hakim, ia lebih senang mengajar anak-anak kaum miskin.

“Baiklah kalau engkau berpikiran demikian, hanya saja ayah kuatir penolakanmu akan membangkitkan amarah baginda.” Mendengar itu, Abu Nawas meyakinkan nya, bahwa ia telah memikirkan cara penolakan yang baik. Tidak lama kemudian, ayah Abu Nawas menutup mata untuk selamanya.

Raja menetapkan hari berkabung 21 hari atas meninggalnya hakim kerajaan. Pada hari berikut setelah pemakaman ayahnya, Abu Nawas memulai beracting; layaknya seorang hilang ingatan, kadang ia menangis kadang tertawa, dengan berpakaian seperti wanita. Warga merasa prihatin melihat keadaan Abunawas, kabar ini meluas kesegala penjuru: “Kasihan, Abu Nawas menjadi gila?”

Raja yang berniat menunjuk Abu Nawas sebagai pengganti ayahnya, mendengar prihal itu. Untuk meyakinkan, Abu Nawas dipanggil menghadap ke istana, setelah lewat masa berkabung. Di istana, dalam pandangan raja, Abu Nawas tak terlihat sebagai orang gila melainkan menunjukkan tindakan tidak menghormati. Raja menjadi marah karenanya, dan menghukum Abu Nawas dengan 50 kali pukulan rotan.

Selesai Abu Nawas menerima ganjaran, ia diperkenankan meninggalkan istana. Ketika melewati gerbang istana, seorang pengawal mencegat, meminta uang, karena ia telah membolehkan Abu Nawas memasuki istana.
Abu Nawas yang dalam keadaan kesal dan kesakitan, langsung merebut tongkat kayu dari tangan si pengawal. Dengan tongkat itu, Abu Nawas memukul pengawal itu puas-puas, melampiaskan kekesalan.

Dalam keadaan babak belur, si pengawal mengadukan perbuatan Abu Nawas kepada raja. Keruan saja raja marah atas laporan, ia penasaran betapa berani orang memukuli pengawal istana nya. Oleh karenanya, raja kembali memanggil Abu Nawas menghadap keesokan paginya.

“Hai Abu Nawas, benarkah engkau telah memukuli pengawalku? Dan mengapa engkau melakukannya ?” Abu Nawas menjawab. “Ampun paduka tuanku, bukanlah kesalahan hamba kalau hamba telah memukulinya.” Abu Nawas tenang menjawab. Raja bertanya lagi dengan nada sinis: “Engkau sudah memukuli pengawal istana ku, dan engkau tidak merasa bersalah? Jadi salah siapa, salah aku kah?”

“Benar, seperti sabda paduka, bahwa itu adalah kesalahan paduka tuanku.” Raja makin penasaran dengan jawab Abu Nawas dan menghardik: “Hai Abu Nawas, engkau jangan main-main dihadapanku, atau engkau akan kuhukum lagi!.” Melihat raja mulai berang, Abu Nawas menjawab lebihserious: “Ampun paduka tuanku, maksud hamba, karena bawahan paduka bersalah, berarti itu adalah kesalahan paduka tuanku juga.”

“Jelaskan, apa kesalahan pengawalku ini!”  tanya raja dengan tidak sabar, dan dijawab Abu Nawas sambil membenarkan gaun yang melorot. “Ampun paduka tuanku, begini ceritanya; kemarin saat hamba akan masuk menghadap memenuhi panggilan paduka, pengawal ini membolehkan hamba melewati gerbang, dengan syarat, hamba membagi hadiah yang hamba terima dari paduka tuanku, kepadanya.”

“Adapun kemarin, hadiah yang hamba terima dari paduka adalah 50 kali pukulan. Dan karena hamba sedang bermurah hati, maka hadiah yang hamba terima hamba berikan seluruhnya kepadanya. Jadi, begitulah mengapa hamba memukulinya kemarin dan itu bukan kesalahan hamba, melainkan atas permintaannya sendiri.”

Setelah jelas duduk perkara, raja memerintah untuk menghukum penjaga istana, yang menyalah-gunakan wewenang. Namun dari kejadian tadi, raja mengetahui kecerdikan Abu Nawas, bertambah besar niat raja menunjuk Abu Nawas sebagai hakim kerajaan. Makin menarik kisah lanjutan Abu Nawas menghindari penunjukannya sebagai hakim, karena cita-citanya mengajar anak-anak kaum tak mampu.

Rupanya sejak dulu sudah ada pemikiran dan cita-cita mulia, bahwa untuk ber-dedikasi tidak harus dengan menjadi pejabat.