Adalah dua kakak beradik, Ali Kasim dan Ali Baba, anak pedagang kaya di Arab. Setelah meninggal ayah mereka, Ali Kasim mengambil alih perusahaan serta seluruh warisan keluarga. Ali Kasim yang materialis, juga beristeri perempuan dari keluarga kaya raya.
Ali Baba mengalah terhadap kakaknya, ia tinggal di rumah sangat sederhana bersama isteri yang berasal dari keluarga bersahaja yang setia menerima keadaan dan seorang anak laki-lakinya. Ali Baba bernafkah dengan mengumpulkan kayu bakar.
Suatu siang, sedang Ali Baba bersendiri di hutan mengumpulkan ranting kering, dari kejauhan terdengar derap lari sekawanan kuda dan debu mengepul mendekat.
Lekas ia bersembunyi diatas pohon untuk memperhatikan apa yang akan terjadi.
Sekumpulan orang berkuda, berjumlah 40, berhenti di dekat dinding tebing. Seorang dari mereka, tampaknya memimpin, turun dari kuda, lalu berdiri di muka tebing dan berteriak dengan keras: “Buka Sesame!”
Dinding tebing itu bergerak membuka yang ternyata adalah pintu sebuah gua. Mereka semua masuk ke gua bersama kudanya, lalu terdengar lagi teriak: “Tutup Sesame” dan pintu gua menutup kembali. Beberapa saat kemudian, pintu membuka, mereka keluar dan pergi lagi dengan berkuda.
Sehilang mereka dari pandangan, Ali Baba mendekati dinding tebing, meniru teriakan yang didengar tadi. Dinding tebing membuka, Ali Baba memasuki gua, menyeret serta keledainya. Dalam gua dilihatnya, tumpukan harta dan perhiasan, permata yang tidak terbilang banyaknya.
Mengertilah Ali Baba, bahwa harta itu adalah hasil menyamun; dipilihnya keping uang uang emas, diisikan ke dalam dua buah karung yang biasa digunakan membawa kayu bakar dan ditumpangkannya ke atas punggung keledai. Mulut karung ditutupi dengan kayu-kayuan, lalu berangkatlah ia pulang.
Setiba di rumah, ditunjukkan barang bawaan, diceritakan pengalamannya kepada isterinya, yang terkejut serta senang mendengarkan.
Agar tiada menimbulkan kecurigaan orang-orang, mereka sepakat untuk menimbang kepingan emas itu, dan menguburnya di halaman belakang rumah. Segera isteri pergi ke rumah Ali Kasim, untuk meminjam alat timbangan.
Isteri Ali Kasim yang meremehkan keluarga Ali Baba merasa heran, apa yang mungkin dipunyai Ali Baba sehingga perlu menimbangnya; dilumurinyalah di bawah dasar alat timbang dengan minyak yang pekat. Setelah dikembalikan, isteri Ali Kasim mendapati sebuah keping uang emas menempel di bawah dasar timbangan.
“Tentulah Ali Baba mempunyai banyak uang emas sampai tidak menyadari kehilangan sekeping.” Begitu pikirnya. Di sore hari, sepulang Ali Kasim dari toko, diberitahukan hal itu kepada suaminya.
Sore itu juga. Ali Kasim mengunjungi adiknya: “Hai Ali Baba, sudahlah jangan berpura-pura miskin terus.” Lalu memaksanya menceritakan asal usul atas hartanya. Ali Baba menceritakan hal temuannya, serta tidak lupa membagi sekantong uang emas kepada kakaknya.
Keesokan hari, dengan membawa belasan ekor keledai, Ali Kasim mendatangi tempat itu. Setelah berada dalam gua, ditutupnya kembali pintu gua demi keamanan.
Bagaikan gila Ali Kasim melihat timbunan harta nan gemerlap, sambil mengisi puluhan karung besar bawaannya penuh-penuh.
Termehek keledai-keledainya, menahan beban yang berat di punggung. Begitu senang Ali Kasim, sampai terlupa kata sandi pembuka pintu gua. Dalam kebingungan, disebut nya bermacam-macam nama buah, dan pintu tetap tinggal tertutup.
Tidak lama kemudian pintu gua membuka oleh teriak dari luar, kawanan penyamun berkuda itu telah kembali ke gua. Melihat gua itu terbuka, Ali Kasim pun menyeruak keluar untuk melarikan diri.
Para penyamun spontan mengepungnya, menghujaninya dengan bacokan senjata tajam. Ali Kasim terbunuh dengan tubuh ter-mutilasi. Potongan tubuhnya lalu diletakkan penyamun dekat pintu gua, dimaksudkan sebagai memperingatkan orang lain yang mungkin telah mengetahui persembunyian mereka.
Malam harinya, isteri Ali Kasim mendatangi rumah Ali Baba, ia panik karena suaminya tak kunjung pulang. Keesokan hari, Ali Baba kembali ke tempat itu membawa dua ekor keledainya. Keadaan sunyi meyakinkan Ali Baba, bahwa para penyamun sedang tidak berada disana.
Ia memasuki gua, dilihatnya jenazah kakaknya, dimuatkannya potongan tubuh ke atas punggung seekor keledai. Sebelum berangkat pulang, tak lupa diambilnya juga keping uang emas dan dimuatkan pada punggung keledai yang lain.
Di rumah, isteri Ali Kasim histeris melihat jenazah suami. Lekas mereka menenangkan agar tidak terdengar tetangga. Kejadian itu harus ditutup rapat, menghindari bahaya, mengingat betapa kejamnya para penyamun itu. Mereka merembukkan pemakaman Ali Kasim, untuk membuatnya tampak sebagai kematian normal.
Adalah Mardiana, gadis cerdas pembantu keluarga Ali Kasim, menemukan idea. Mulai dari sore itu mereka menunjukkan kesibukan, bolak balik mencari obat ke toko-toko; membangun persepsi warga, bahwa Ali Kasim sedang mendapat sakit. Lalu menjelang tengah malamnya, mereka menyuarakan tangisan memilukan, termaklumkanlah para tetangga bahwa Ali Kasim telah meninggal karena sakitnya.
Di pagi buta, keesokan harinya, Mardiana datang ke tukang sepatu, yang biasa telah mulai kegiatan paling pagi; ia memintanya menjahitkan potongan tubuh agar tampak utuh. Tukang sepatu menyanggupi karena upah yang besar.
Demi keamanan, Mardiana menggunakan secarik kain sebagai penutup mata tukang sepatu, lalu menuntunnya menuju rumah Ali Kasim.
Selesai menjahit, Mardiana mengenakan lagi kain menutup mata tukang sepatu, untuk dituntun ke tempat ia semula ditemui. Sebelum pergi, berkali-kali Mardiana berpesan agar tidak memberitahu siapapun tentang apa yang telah dikerjakan.
Pada siang hari, jenazah Ali Kasim dimandikan dan dimakamkan, tanpa mengundang kecurigaan tetangga.
Mendapati mayat telah hilang, harta mereka pun berkurang, yakinlah para penyamun akan adanya orang lain mengetahui tempat rahasia mereka. Dengan marah pemimpin penyamun mengutus anak buahnya pergi menyelidiki. Subuh keesokan hari, berangkat penyelidik itu memulai tugasnya.
Sepagi itu, kota masih sepi, yang ditemui penyamun hanya tukang sepatu. Didekatinya ia, disapa dan dipuji kerajinannya: “Oh, saya dikenal semua orang kota ini, saya adalah tukang sepatu berpengalaman. Saya malah pernah menjahit potongan jenazah, untuk menjadikannya utuh kembali.” Tukang sepatu berbangga, dengan jawaban yang justru sedang dicari si penyamun.
Atas permintaan penyamun, dengan upah besar, tukang sepatu menunjukkan tempat dimana ia menjahit jenazah. Mengulang ia berjalan dengan mata tertutup, tiba mereka di rumah Ali Kasim.
Sepergi tukang sepatu, penyamun memberi tanda silang di sudut bawah pintu rumah Ali Kasim dengan kapur putih, sebagai persiapan untuk penyergapan malam hari, lalu ia kembali ke gua, memberi laporan prestasinya.
Pagi itu, kembali dari pasar Mardiana melihat tanda silang di pintu rumah; ia menduga kuat bahwa hal itu merupakan pertanda akan datangnya bahaya. Segera ia membuat tanda serupa di banyak pintu tetangga di lingkungan itu.
Di malam hari, para penyamun datang ke kota, berpencaran mencari rumah dengan tanda tadi. Mereka tak dapat memastikan rumah mana yang menjadi target, karena banyak pintu rumah ber tanda serupa.
Dengan kesal mereka kembali ke gua, dan penyelidik yang gagal dipancung.
Pada hari berikutnya, seorang penyamun lain mengajukan diri untuk menyelidik.
Seperti yang pertama, ia menemui tukang sepatu, berulang dengan cara yang sama, si tukang sepatu menunjukkan rumah Ali Kasim. Hanya saja, ia tak menandainya dengan kapur, melainkan disusunnya beberapa buah batu di sisi pintu rumah Ali Kasim.
Ternyata tanda susunan batu itu tidak luput dari penglihatan Mardiana, diperbuatnya juga menyusun batu di sisi pintu rumah lain di lingkungan. Nasib penyamun kedua itu menyusul nasib penyamun pertama.
Kali yang ketiga, pemimpin sendiri turun tangan. Setelah tukang sepatu menunjukkan rumah Ali Kasim, ia tiada membuat tanda, ia mencermati dengan seksama ciri rumah; rumah disana sangat serupa satu dengan lain.
Keesokan petang, menjelang malam, pemimpin penyamun dengan menyamar sebagai pedagang tiba di kota dengan bawaan 38 kendi minyak pada punggung 19 ekor bagal.
Ia menghentikan perjalanan di muka rumah Ali Kasim. Pada waktu mana, Ali Baba dan keluarganya, telah kembali tinggal disana, rumah peninggalan orang tua.
Ali Baba sedang duduk santai di muka rumah, melihat seorang pedagang minyak yang kemalaman di perjalanan, hatinya merasa iba dan menawarkan bermalam, dimasukan nya semua bawaan pedagang itu ke halaman belakang, dengan dibantu anak laki-laki dan pembantu laki-laki, kendi-kendi minyak diturunkan dari punggung bagal, Ali Baba akan menjamunya pula malam itu.
Selesai bersantap malam, penyamun pergi ke belakang rumah, berpura-pura hendak menengok bagalnya. Dan disana ia membisikkan ke dalam setiap kendi, agar serentak keluar menyerbu bersama, begitu terdengar bunyi lemparan batu kerikil.
Larut malam, seisi rumah telah lelap tidur, Mardiana masih berbenah di dapur, tiba-tiba lampunya padam kehabisan minyak. Teringat minyak bawaan tamu dan berniat mengambilnya sedikit. Ia menuju halaman belakang, dimana kendi minyak berada.
Betapa terkejutnya, ketika akan membuka penutup kendi terdengar suara dari dalam nya: “Sssst, bagaimana? Sudah saatnya?”
Ternyata, kendi-kendi itu berisi manusia; sadarlah Mardiana akan bahaya yang sedang mengancam. Untuk mengantisipasi, ia mengetuk perlahan setiap kendi dan membisik kan: “Belum saatnya, sebentar lagi.” Satu persatu kendi dihampiri, sampai didapatinya kendi berisi minyak, lalu diambilnya minyak untuk mengisi lampunya.
Kemudian Mardiana kembali dengan sebuah belanga besar. Diisinya belanga dengan minyak penuh-penuh, lalu dijerangnya di atas tungku. Setelah mendidih dibawanya ke halaman, satu persatu kendi dibuka dan dituangkan minyak panas ke dalamnya, maka melayanglah seketika nyawa 37 penyamun dalam kendi-kendi.
Tak berselang lama, melalui jendela kamar pemimpin penyamun melempar kerikil ke arah kendi-kendi, namun tiada reaksi. Lagi diulangnya melempar, tiada juga reaksi.
Mengendap menghampiri kendi-kendinya, terkejutlah ia dengan apa yang didapati.
Menyadari akan perkembangan, segera ia meninggalkan rumah dengan melompati tembok pagar di tengah malam. Mardiana memperhatikan dari tempat tersembunyi, lalu pergi tidur dengan tenang hati.
Keesokan pagi, Mardiana menceritakan kejadian kepada Ali Baba sekeluarga, mereka sangat berterima kasih dan memuji kecerdasannya, kemudian bersama menguburkan mayat para penyamun di halaman belakang rumah dan menjual bagal ke pasar.
Pemimpin penyamun kembali ke gua, bersendiri ia menyusun rencana balas dendam kepada kepada Ali Baba dengan lebih cermat. Ia bermalam dua minggu di penginapan di kota, memata-matai Ali Baba dan keluarganya. Setelah mantap rencana, dibawanya benda berharga, bahan tekstil mahal untuk berdagang di lokasi, tepat diseberang toko anak Ali Baba. Mengaku bernama Hasan; membina hubungan dengan anak Ali Baba.
Penyamaran demikian rapih; Ali Baba tiada mengenali, bahkan menaruh simpati pada Hasan yang baik hati. Beberapa kali Ali Baba mengundangnya makan malam bersama dirumah namun selalu ditampiknya. Sampai suatu kali, Hasan mengemukakan alasan penolakannya, bahwa ia tidak biasa dengan makanan bergaram.
“Jikalau itu persoalannya, mudah saja, saya akan berpesan di rumah untuk memasak tanpa diberi garam” Desak Ali Baba dan Hasan tak lagi dapat menolaknya.
Kepada pembantu yang menyiapkan hidangan, berkali-kali Ali Baba berpesan agar tak memberi garam pada makanan bagi tamunya. Pesanan serius itu membuat Mardiana tertarik untuk melihat siapa tamunya kali ini. Setelah mengintip, terkejutlah Mardiana mengenali bahwa tamu itu tiada lain adalah pemimpin penyamun, ia mengenali walau telah rapih penyamarannya.
Selesai santap malam, Ali Baba mengajak tamu bersantai di ruang tengah; Mardiana akan menghibur dengan tarian berpisau, diiringi tapak rebana putera Ali Baba.
Dalam menari, Mardiana mendekati tuan rumah dan tamunya secara bergantian.
Selesai menari ia bergaya bagaikan penari jalanan, memungut sawer dengan rebana di tangan, ia mulai meminta dari Ali Baba. Tiba gilirannya, si tamu dengan gugupnya mencari uang receh di balik jubahnya.
Pada saat itu, Mardiana tiba-tiba menikam dengan pisau ke dadanya, tepat mengena pada bagian jantung penyamun.
Semua orang dalam ruang terkejut karenanya, tetapi Mardiana menyibakan kerudung tamu, membuka penyamaran penyamun dan terlihatlah sebilah pisau besar terselip di balik jubahnya. Mengertilah Ali Baba dan yang lainnya mengenai apa yang terjadi.
Sebagai ungkapan terima kasih, mereka membebaskan Mardiana, dari status sebagai pembantu, kemudian menjadi menantu Ali Baba. Antara mereka memang telah sejak lama terjalin hubungan asmara.
Kisah berakhir dengan tamatnya riwayat penyamun kejam, yang sering mengganggu keamanan di wilayah itu, dan kebahagiaan setiap orang dalam keluarga Ali Baba.