Agama dan Ketangguhan ber-Sosial.

Seorang yang benar ber-iman, justru diharapkan ketangguhan dan meneladankannya dalam hidup bersosial, ber-masyarakat, mulai dari lingkungan terdekat. Bukan sebaliknya mengucilkan diri (sendiri atau berkelompok), memisahkan diri, menjadikan eksklusif dari pergaulan.

Apakah penguasaan kitab suci yang baik, apapun agamanya, dengan sendirinya berarti telah ber-iman? Berikut ini adalah kisah nyata yang menarik mengenai kepala keluarga dengan dua anak, ditengah study kitab suci nya, yang harus dijalani beberapa tahun.

Merasa yakin dengan penguasaan kitab suci yang ngelotok di luar kepala, menjadikan seorang sangat bersemangat mendiskusi ayat-ayat kitab suci, dengan siapa saja tanpa pilih-pilih. Di kantor sekalipun, kesempatan berbincang cenderung diarahkan kepada menguji coba kemampuannya membahas kitab. Tidak jarang terjadi, diskusi berubah, menjadi debat berkepanjangan, berhari-hari bersitegang keakraban pun merenggang.

Terasuki roh kahPandangan hidup baru membuatnya rajin ke tempat ibadah, sebagian besar waktu di luar jam kerja ia dapat ditemui disana, hal yang sama dengan isterinya, sibuk dengan rapat organisasi atau event kerohanian.
Menurut pandangan keimanannya, itulah pelayanan. Dua orang anaknya yang lewat balita biasa bermain ditemani baby sitter.

Suatu ketika, suami isteri mengikuti acara ziarah ke luar kota selama beberapa hari, mengunjungi tempat yang dikenal sakral.
Setiap acara, khotbah, renungan, doa dan sebagainya diikuti dengan penuh fokus. Sepulang berziarah, seperti pada kebanyakan orang, kebiasaan ber-doa, merenung, berlanjut di rumah, dengan jadwal seperti ketika mengikuti acara ziarah.

Pada malam kedua jadwal doa di rumah, tengah pasangan itu khusuk di dalam kamar berdoa mempersiapkan diri mengundang kehadiran roh suci untuk pendamping, tiba-tiba keheningan dipecahkan teriak dua anak mereka, yang berkelahi memperebutkan mainan, di luar kamar.

Spontan si ayah bangkit dari posisi berlutut, membuka pintu kamar lalu dengan wajah berang dihardiknya kedua anak-anaknya: “Anak kurang ajar, . . . .,” diikuti serapah kata lain. Mainan yang menjadi rebutan kedua anak, hancur dibantingnya. Baby sitter yang keluar tergopoh dari kamar kecil, tidak luput dari sasaran kemarahannya.

Mungkin dapat dimengerti kecewa si ayah yang sedang bersiap berdoa, tetapi menjadi pertanyaan adalah, roh siapakah gerangan yang tadi mendatanginya dalam kamar?
Roh siapakah yang sudah merasukinya sewaktu bersiap berdoa tadi, sehingga ia dapat menjadi demikian berang dengan kata-kata serapah itu?

Pengetahuan sosial dan keteladanan.

Entah bagaimana penangkapan ayah ini atas study nya, atau entah apa yang diberikan pengarahnya yang membagi pengetahuan kitab suci, yang termasuk ilmu sosial.
Ilmu sosial berbeda dengan pengetahuan eksakta, pengetahuan falak dan sebagainya.

Seorang mekanik yang bekerja untuk meningkatkan kecepatan mobil balap, tidak perlu menunggu pengakuan orang atas hasil kerjanya. Alat pengukur kecepatan telah cukup untuk menunjukkan prestasinya. Ia dapat memastikan prestasi tanpa kehadiran orang lain.

Akan halnya dengan hubungan sosial; tiada seorangpun dapat mengklaim diri sebagai pahlawan sementara di mata orang lain, ia tidak lebih dari seorang mementingkan diri sendiri atau merasa diri sebagai pengasih tetapi orang lain melihatnya sebagai pribadi kikir atau pemberang. Kemampuan sosial memerlukan pengakuan dari orang lain.

Ilmu sosial berkaitan kuat dengan penghayatan, penguasaannya terrefleksi pada sikap dan pembawaan diri. Pendidikan ilmu sosial sarat dengan keteladanan. Murid di kelas budi pekerti tentu mengalami kesulitan menerima pengajaran oleh guru bertutur kata tidak etis. Apa jadinya seminar manajemen bisnis apabila dibawakan orang yang baru mengalami kebangkrutan? Atau pembina iman mengajarkan kasih dengan muka yang masam dan sikap temperamental?

Penyampaian buah pikiran, tidak sesederhana penyampaian data angka mathematis. Walau secara oral atau tulisan pesan telah jelas disampaikan, penangkapan pada sisi penerima dapat (sering kali) berbeda pengertian, diluar harapan, distorsi dapat terjadi. Untuk itulah pentingnya keteladanan.

Hidup bersosial tidak pernah lepas dari keteladanan. Seorang yang benar-benar ber-iman, justru diharapkan ketangguhannya dalam ber-sosial, ber-masyarakat, mulai dari lingkungan terdekat. Bukan sebaliknya malah mengucilkan diri, atau mengajak orang lain untuk bersama-sama memisahkan diri, eksklusif dari masyarakat luas.