The Great Wall of China, tembok raksasa merentang di utara daratan Tiongkok, adalah satu diantara karya terbesar, yang pernah dibangun manusia di bumi ini. Menyaksikan kemegahan tembok sepanjang ribuan kilometer, sejauh mata memandang, tembok itu meliuk, menaik menurun, menyusuri pegunungan, siapa takkan terpesona?
Akan tetapi siapa dapat memperkirakan penderitaan yang dialami beribu-ribu pekerja dan penduduk untuk membangun tembok itu? Berapa ribu pekerja berkorban nyawa? Hanya tembok itulah saksi yang dapat ditemui, namun membisu, menyimpan banyak peristiwa menyedihkan yang tiada terperikan.
Diantaranya adalah peristiwa yang dialami perempuan cantik bernama Meng JiangNu yang menikah dengan Wan XiLiang. Di hari pernikahan, pasukan tentara datang untuk menangkap mempelai laki-laki.
XiLiang digabungkan dengan para pemuda lain yang telah disergap lebih dulu, mereka dikenakan kerja paksa mendirikan tembok pertahanan militer pemerintah kaisar Qin. Mereka digiring seketika itu juga, dibawah pengawalan ketat tentara yang bengis.
Sejak kepergian XiLiang, tiada kabar sama sekali. JiangNu sangat cemas akan keadaan suaminya. Bulan-bulan penantian berlalu hingga lima tahun; kabar terdengar hanyalah bahwa tembok itu ber lokasi di pegunungan utara dimana medan dan iklimnya sangat tidak bersahabat. Terdengar juga, bahwa pembangunan tembok mengalami kemajuan, namun tiada sedikitpun mengenai XiLiang.
Menjelang musim dingin, menjadi kebiasaan disana; isteri merajut mantel untuk suami mereka. Demikian JiangNu merajutkan sehelai untuk XiLiang. Lalu, siapakah yang akan mengantarkan kepada XiLiang? Jalan menuju utara sangat jauh, berliku melalui banyak daerah yang tidak dikenalnya. Namun kerinduan kepada suami, membuatnya bertekad untuk menempuh perjalanan penuh bahaya.
Berjalan kaki dengan bekal seadanya, JiangNu menjelajahi pegunungan, menyeberangi sungai-sungai. Lapar, letih tidak menghalangi tekadnya meneruskan perjalanan. Ketika tampak olehnya tembok meliuk bagai ular dari kejauhan di pegunungan, itulah tembok raksasa, tempat yang ditujunya, rasa lega menjalari perasaannya.
Kepada setiap pekerja yang ditemui, ia bertanya, kalau-kalau ada mereka yang mengetahui keberadaan suami nya. Beberapa hari ia bertanya, tiada seorang mengenal XiLiang sampai ia berjumpa dengan rekan rombongan yang bekerja bersama suaminya.
Ternyata XiLiang sudah meninggal, kelelahan bekerja berhari-hari tanpa istirahat. Mereka pun menunjukkan tempat dimana XiLiang dikubur, di bawah tembok raksasa. Tiba di lokasi dimaksud, JiangNu menangis, siang malam, tiada henti meratapi kepergian suaminya.
Kesedihannya sangat mendalam, langit menjadi iba karenanya, sehingga terbangkitlah badai salju. Bagian tembok dimana XiLiang dikubur roboh karenanya, terkuaklah tanah disana, menampakan jasad XiLiang.
Tersiar kabar, meluas ke segala penjuru, ihwal tangis Meng JiangNu yang merobohkan tembok raksasa. Kabar sampai kepada pendengaran kaisar yang terkejut, dengan rasa penasaran berangkat kaisar untuk melihat sendiri perempuan yang telah merobohkan temboknya dengan tangisan.
Tiba disana menemui JiangNu, terpana kaisar beberapa saat, memandangi perempuan demikian cantik dihadapannya, pakaian yang kumal, debu kotor yang melekati sekujur tubuhnya, tidak mampu menutupi kecantikannya. Setelah kembali menguasai diri, ber kata kaisar: “Anda sungguh cantik, kecantikan bagai hanya di dalam dongeng, aku ingin menikahi engkau.”
Seorang perempuan setia seperti JiangNu, sudah barang tentu tidak menerima begitu saja permintaan laki-laki, meski kaisar sekalipun. Setelah merenung sebentar, JiangNu menanggapi, bahwa ia akan menerima permintaan kaisar di bawah tiga syarat.
Yang pertama, suami nya harus mendapat peti jenazah, terbuat dari kayu berkualitas. Kedua, suaminya harus dimakamkan dengan upacara kenegaraan, di lokasi pilihannya. Ketiga, kaisar serta menteri kerajaan dan pejabat militer berkabung atas pemakaman suaminya.
Dengan senang hati kaisar menyanggupi; prosesi pemakaman XiLiang berlangsung sebagaimana diisyaratkan JiangNu.
Peti jenazah diusung berjalan di muka dan diikuti kaisar dan para pejabat berjalan di belakang.
Iringan berjalan menuju lokasi yang sudah ditentukan, di tepian tebing nan tinggi dan terjal, sebuah sungai besar mengalir deras nun jauh di bawahnya. Kaisar dan seluruh pejabat mengikuti upacara di sisi liang lahat dengan penuh hikmat.
Selesai ritual dan meyakini bahwa suaminya telah beristirahat dengan tenang, JiangNu berhenti menangis, ia bangkit dari berlutut untuk berjalan menghampiri tepian tebing, menengok makam suami untuk terakhir kali, lalu melompat terjun ke dalam jurang.
Pencarian tubuh JiangNu dilakukan, namun tiada petunjuk bahwa ia ditemukan. Akan tetapi, tempat dimana JiangNu melakukan pengorbanan, kini di-kramati orang sebagai penghargaan baginya. Bahkan membangun kuil sebagai pemujaan kepadanya.
Setiap orang mempunyai hal masing-masing yang dihargai atau dikagumi. Akan tetapi kesetiaan Meng JiangNu menyentuh perasaan setiap orang yang mempunyai hati.
This article is posted at request of and for dear little sister Yang Thaw In.
And of course, to my lovely daughters, as well.