Sebelum Mencela Iman Orang Lain.

Pemandangan menyentuh hati, melihat warga berbeda agama, menyatakan saling mengasih menuntut agar tidak dicerai-berai oleh politik. Tidak dikenali lagi mana yang berbeda agama itu. Orang yang ber-iman dengan benar dikenal melalui perbuatan nya yang mulia. Sebuah pohon dikatakan baik, sesudah orang menikmati buahnya.

Pemandangan menyentuh hati, melihat warga berbeda agama ber-demo bersama ke hadapan pemimpin negara; agar mereka tidak dicerai-berai, mereka dengan enthusias menyatakan saling mengasihi, meski berbeda agama. Pembauran warga yang menyatu tidak dapat dikenali mana mereka yang berbeda agama itu.

Rasa persatuan warga terbina, setelah suka duka mereka lalui hidup bersama. Diwaktu berbagi kebahagiaan dalam perayaan tiada orang menanyakan agama masing-masing. Saat sedang saling tolong menolong dalam musibah yang dialami bersama tiada yang mempermasalahkan akan apa yang diimani yang lain.

Penganut agama berbeda menuntut damaiSaling berbagi dan saling menolong adalah sungguh sikap kemanusiaan yang teramat manis. Nilai-nilai ajaran agama seyogyanya lebih lebih tinggi dan lebih terpuji lagi.

Namun, disayangkan semangat berlebihan sebagian umat beragama menjadikan lupa akan kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga dirasakan perlu untuk diingatkan antara lain pada satu sila falsafah negara.

Pembangunan iman.

Tentu banyak dari kita memahami bahwa agama merupakan sarana pembangun iman, yakni iman yang benar dihadapan pihak yang disembah; Sang Pencipta alam semesta beserta isinya, Yang Maha Kuasa, Tuhan atau para Dewata, dan lain-lain sesuai ajaran agama masing-masing.

Dalam perjalanan mencapai tujuan ber agama, membangun iman sebagaimana yang diharapkan, adalah manusiawi, dalam masa-masa awal menyerap ajaran agama, orang menggebu bersemangat menyatakan iman, bersikap kritis dan cenderung meng-kritisi agama lain atau iman orang lain se agama. Tanpa ia sadari, sebenarnya ia berkata-kata agar dimuliakan manusia, ia menunjukkan iman dihadapan manusia.

Ibarat seorang yang baru mempelajari ilmu bela diri, merasa gagah cenderung mencari lawan berkelahi agar dapat mencoba kepandaiannya, mendambakan pengakuan atas kegagahannya. Ini adalah gejala umum biasa tahap-tahap awal belajar. Gejala ini akan berlalu sesudah memasuki masa kematangan, penguasaan ilmu bela diri pada tingkat tinggi menyadarkan akan kerugian dan kerusakan akibat perkelahian.

Kematangan ber-iman.

Umat berbeda agama ber-demo 1Tidaklah lazim mengatakan iman sebagai hal subjektif, tetapi coba tanyakanlah umat se-agama dan orang yang tinggal serumah, kita akan mendapati betapa uniknya iman. Setiap orang mempunyai cara masing- masing merasakan kehadiran-Nya.
Makin bersikukuh dengan iman sendiri, makin bertahan sebagai orang paling benar menafsirkan ajaran-Nya, makin menunjukkan betapa subjektifnya kita ber-iman.

Tiada orang dapat memastikan iman siapa yang benar atau lebih benar. Mungkin iman kita benar dibandingkan iman orang lain. Mungkin iman kita salah dan iman orang lain benar. Atau iman kita dan iman orang itu benar dari sudut pandang berbeda, atau pula iman kita dan iman orang lain itu keduanya ternyata salah.

Kesamaan yang ada pada orang yang merasa ber-iman, adalah upaya untuk meyakini Yang Maha Kuasa sempurna adanya tanpa cacat kesalahan. Kenyataannya agama yang mengajarkan kesempurnaan-Nya menyatakan dalam kitab suci, penyesalan Allah yang menciptakan manusia, setelah menyaksikan betapa jahat perbuatan manusia; mereka itu dimusnahkan-Nya dalam zaman nabi Nuh. Kata ‘menyesal’ mempunyai arti sangat dekat dengan ‘perasaan bersalah’.

Bagaimana dengan manusia yang ambivalent? Pada suatu saat mengakui keterbatasan memahami ajaran-Nya, mengakui sebagai mahluk yang tidak sempurna, kerap berbuat salah, tetapi pada saat lain merasa sangat mengenal Nya, sangat mengerti akan ajaran Nya, merasa paling benar dengan kegiatan penyebaran agama, bahkan memaksa yang lain untuk menerima apa yang diyakininya sebagai iman.

Perenungan ini kiranya menyadarkan, agar tidak lagi terpaku hanya pada ayat-ayat ter tulis dalam kitab suci secara harfiah saja, agar membangun kesadaran menghindarkan perdebatan mengenai iman yang tidak akan pernah menghasilkan konklusi, terlebih lagi menggunakan kekerasan memaksakan iman.

Seorang yang telah berada dalam tahap kesadaran sebaik ini, ia akan terarahkan untuk memahami secara mendalam akan nilai-nilai penting yang terkandung dibalik pesan di dalam kitab suci, untuk dilaksanakan, diterapkan kedalam perbuatan, secara positip.

Iman yang benar tidak akan dapat dibuktikan dalam perdebatan. Mereka yang merasa ber-iman dengan benar dihadapan-Nya adalah orang yang melakukan perbuatan baik kepada sesama. Sebuah pohon dikatakan baik setelah orang menikmati buahnya.