What is a name?

“What is a name?” Demikian Shakespeare; bunga mawar dinamakan apapun, ia akan te tap mengeluarkan aroma, harum, yang sama. Kenyataan ini tidak terbantahkan, namun tidak menghentikan keinginan orang memilih nama.

Selain sebagai pengenal, nama juga adalah ungkapan rasa bersyukur, kasih sayang dan harapan akan masa depan, kegandrungan atau penghormatan, kesan dan sebagainya. Begitulah alasannya orang memberikan nama kepada anak, tempat, kapal dan lain-lain. Sedemikian gemar memberi nama, sampai-sampai kucing terlahir dengan dua kepala, di Perancis, masing-masing kepala bernama Frank dan Louie-Janus.

Dalam pergaulan, nama orang masih lagi di tambah sebutan penghormatan, seperti ke pada yang lebih tua, pejabat, panggilan un tuk ber-akrab mesra, sampai sampai sebut an yang merendahkan, mengutuk.

Normalnya, setiap orang mendengar nama nya dipanggilkan kepadanya berulang kali, disertai sentuhan, belaian penyejuk rasa di hati sejak ia sendiri belum dapat berbicara. Perlakuan sejak bayi itu tertanam didalam alam bawah sadarnya.

Sepanjang sisa hidupnya kemudian, bila namanya dipanggil dengan lembut, akan terde ngar bagai lonceng yang merdu di telinga yang bersangkutan; berbahasa apapun orang itu, perasaan nyaman tentu menjalarinya. Pemanggilan nama yang baik, selalu merupa kan awal pendekatan yang efektif. Begitu juga dengan pemanggilan sebutan pertalian keluarga, dengan alasan yang sama.

Seorang arif tentu mencari tahu terlebih dulu, panggilan bagaimana yang dikehendaki orang yang akan menjadi lawan bicaranya. Dan ia akan memanggilnya demikian, meng ulang-ulangnya dalam pembicaraan, menciptakan suasana berbincang kondusif, akrab.

Berikut adalah sharing pengalaman beberapa members DCCAC, mengenai respond se orang atas panggilan terhadap dirinya:

Dian Kusumawati:
Sewaktu bekerja sebagai Sales Counter, saya berhubungan dengan customers dari berbagai strata, saya membiasakan memanggil, atau menyebut nama customers berulang-ulang.

Untuk customer yang bernama Budi. Saya berkata: “Pak Budi, ini formnya udah diisi, setelah ini saya masukkan ke bagian survey, nah kira2 Pak Budi ada waktu luang kapan supaya petugas survey bisa bisa ketemu sama pak Budi….., misal nanti atau besok hasil survey keluar dari kantor pusat, dalam artian pengajuan di acc atau tidak, saya akan se gera menghubungi Pak Budi”.

Walhasil, sebagai akibat dari kebiasaan saya, setiap kali pak Budi datang berbelanja, se lalu menghubungi  saya, walau sudah bertemu dengan salesman/girl lain. Dengan demi kian hasil penjualan saya meningkat, bonus yang saya peroleh mengikuti, meningkat.

Liem Hogie:
Saya pernah mempunyai Bos yang sangat mengabaikan nama, ia me- manggil karyawannya dengan:  “Eh . . . ,  siapa kamu” (sambil gaya sok sibuk dan seakan tak peduli, dengan tatapan mata yang tidak focus). Walau saya cuman stafnya, tapi saya merasakan sangat tidak nyaman.

Mohon maaf, ternyata Bos dengan tipikal begitu juga mengabaikan hak-hak karyawan, terbukti sering lupa kewajiban menggaji karyawan, parah kondisi saat itu.

Berbeda Bos saya yang lain, yang mempekerjakan ribuan karyawan, waktu interview pun beliau sudah menyebut nama saya berkali-kali, dan pada saat memberi keputusan untuk menerima saya sebagai karyawannya, beliau menelpon saya, dengan lebih dulu SMS, kalau beliau mau menelpon. Sungguh suatu kerendahan hati. Bos saya juga hafal nama semua stafnya yang jumlahnya ratusan orang. Ternyata Bos seperti ini memiliki attitude yang baik, sangat menghargai hak-hak karyawan.

Wahyu Budiono:
Sewaktu saya mulai berdagang onderdil mobil, di jalan raya Bekasi, omset masih rendah, hampir setiap hari kesulitan uang kecil kembali an, kebetulan bersebelah toko saya adalah warung rokok; yang meng herankan, setiap kali karyawan saya kesana untuk menukarkan uang kecil selalu dijawab “tidak ada”, kalau saya yang menukar selalu ada, aneh….

Sesudah mencari tahu, ternyata karyawan saya memanggil pemilik warung yang orang Batak, dengan sebutan ‘bu’ dan tidak disukai beliau, sedangkan saya memanggil beliau dengan sebutan ‘tante’, suaminya dengan sebutan ‘oom’. Sejak saat itu, karyawan saya pun ikut memanggil dengan ‘oom’ dan ‘tante’ dan selalu mendapat penukaran, sepele tapi bermanfaat.

– Aniwati Yohana:
Beberapa tahun lalu, saya masih bekerja di apartemen Rusunami, di Bekasi. Saya bertugas menerima pembayaran iuran pembeli dalam bentuk tunai,  dikarenakan banyak dari mereka belum mengetahui rekening untuk mentransfer. Setelah terkumpul pembayaran, dengan rasa was-was saya membawa uang sebanyak itu untuk antri menyetorkannya ke Bank.

Namun karena saya kemudian berhubungan akrab, mengenal nama Manager Operatio nal bank dengan baik, saya tidak lagi harus mengantri menyetor uang, mengingat akan keamanannya.

– Petrus Hermanto:
Beberapa bulan lalu, ada teman sekantor berkunjung ke Pontianak, kampung halaman saya, disana dijemput seorang bernama Erick.
Menurutnya, Erick mengenal saya; perlu waktu sejenak bagi saya un tuk mengingat orang bernama Erick itu. Setelah berbincang, barulah saya teringat Erick, teman ngopi bersama dimasa kuliah.

Untuk meyakinkan, saya meminta nomor telpon Erick dari teman sekantor saya, dan setelah menghubunginya ternyata benar adalah teman yang tidak jumpa sejak tahun 1983. Dari berkomunikasi dengan Erick, beberapa nama lain muncul dalam ingatan. Nyatalah bahwa mengingat nama adalah penting, karena membawa kepada ingatan peristiwa saat kebersamaan dalam persahabatan dan persaudaraan.

– Yang Thaw In:
Saya mempunyai seorang keponakan perempuan, namanya Yuli, se orang yang percaya diri dan pandai bergaul. Rumah kami, berada da lam  kompleks yang sama. Apabila teman-teman Yuli  bertandang ke rumahnya, gelak tawa dan canda ria mereka, terdengar sampai di tem pat kami, suasana ramai sekali, dan lama kelamaan semua anggota keluarga besar me ngenal teman2nya.

Teman-temannya pun ikut memanggil saya ‘kuku’, yaitu panggilan untuk adik perem puan dari ayah. Dengan panggilan akrab, terasa bagai keluarga sendiri, terjalinlah keke luargaan yang akrab. Setiap ada acara keluarga, merekapun muncul, jadi antar keponak an dengan mereka saling kompak, beberapa menemukan jodoh dari sering kumpul itu, yang sebelumnya hanya ikut ikut memanggil saya ‘kuku’, sekarang menjadi bagian ke luarga besar.

– Mohammad Hasyim Soska:
Waktu lahir,  ortu saya memberi nama  “Syahrullah”, biasa memanggil saya dengan nama kecil “Ulla”. Sejak duduk di kelas 4 SD, saya sering sakit, macam macam penyakit saya derita, beberapa tahun saya bolak balik ke dokter. Ortu saya yang kebetulan kadang percaya kepada hal yang tradisional, berpendapat bahwa nama itu kurang cocok bagi saya, “terlalu berat” begitu istilahnya.

Oleh karenanya kakek dan nenek serta ortu mencarikan nama lain untuk saya. Saya tak sepenuhnya percaya manfaat mengganti nama tersebut, tetapi sekarang alhamdulillah lancar-lancar dan sehat saya, dengan nama saya yang sekarang ini.

– Grace Saputra:
Suatu ketika saya bersama kolega berkunjung ke Sumatera barat be berapa hari, untuk meninjau lokasi pabrik milik client. Ada beberapa pilihan tempat bermalam, ada beberapa hotel, ada juga yang berupa rumah tinggal yang dibisniskan menjadi penginapan.

Beberapa teman dalam rombongan, memilih menginap di rumah tinggal, walau biaya menginap hampir sama dengan hotel. Alasannya, bahwa di penginapan rumah tinggal kita di-manusia-kan, dilayani akrab menyebut nama dengan sopan, sedangkan di hotel kita dianggap nomor kunci, pelayanannya biasa dengan kata-kata seperti: “Kamar 213 minta air panas.”
Beberapa tahun kemudian, mulai banyak hotel, khususnya berbintang lima, melayani telpon dengan menyebut nama: “Ya, nona Grace, apakah yang dapat kami bantu?”

Demikian sharing kami mengenai perlunya memanggil dengan cara yang baik.
Bagaimanakah menurut pembaca yang budiman mengenai prihal nama?