Maling teriak maling?

Sharing sesi ke 18 oleh Suherman Suhardi, member DCCAC.
Sharing terbaik sesi ke 18, pilihan member DCCAC

Sewaktu masih bekerja, suatu hari saya ditugaskan perusahan, untuk menagihkan pem bayaran ke sebuah toko sesuai jatuh tempo tagihan. Dengan membawa fakturnya, saya mendatangi toko yang dimaksud, berlokasi di sebuah pasar.

Setelah bertegur sapa dengan si pemilik toko, saya mengajukan kepada faktur tagihan, dan dilihatnya sejenak, diluar dugaan, ia menyatakan tiada berhutang, ia tidak pernah menerima barang sebagaimana tertera dalam faktur itu.

Menanggapi sikapnya itu, saya tunjukkan kepadanya nama toko dan tanda tangan- nya pada faktur itu. Kembali dilihatnya, te tapi entah sungguh diteliti, atau ia sedang memikirkan cara mengingkari; karena ke mudian, ia tidak mengakui tanda tangan itu sebagai tanda tangan nya.
Tidak sampai disana saja, si  pemilik toko kemudian marah, ia menuduh saya melaku kan kebohongan, bahwa saya memalsukan tanda tangan nya.

Saya mencoba terangkan kepadanya, bahwa saya hanya bertugas menagih, dan bahwa yang mengirim barang tersebut diwaktu lalu adalah karyawan bagian delivery. Namun, tetap saja ia marah, tetap bersikeras dengan tuduhannya tadi, malah disertai ancaman akan melaporkan kepada polisi, yang segera ia saya persilahkan, tetapi tiada dilakukan nya. Pembicaraan berulang-ulang, ia tetap saja dengan tuduhannya.

Akhirnya terpancing emosi saya, sudah tak tahan lagi dengan tuduhan yang tak masuk akal yang diulang-ulang; dengan berang saya jambret kerah kemeja nya, saya menarik nya hingga keluar dari batasan etalase.

Isterinya berteriak mencegah ketika saya hendak memukulnya, orang yang lalu lalang dan orang dari toko bersebelahan mengerumuni. Saya tidak takut, tidak malu, kemarah an menguasai perasaan saya: “Mau melunasi atau tidak? Atau masih menuduh saya me malsukan tanda tangan?”

Segera ia meminta maaf, seribu dalih dikemukakannya seba gai alasan belum sanggup melunasi, dan bahwa pada saat itu ia tiada memiliki uang sebanyak itu.
Menjawab pertanyaan saya, ia menyatakan akan melunasi dengan empat kali angsuran setiap minggu, disebutkan nya nilai uang setiap angsuran.
“Kalau dari semula kita berbicara dengan baik-baik, sepuluh kali angsuranpun tidak akan menjadi masalah!” saya meng- akhiri percakapan dengannya.

Beberapa minggu kemudian, faktur itu dilunasinya, sesuai angsuran sebagaimana yang dikatakannya, tanpa komentar apapun darinya.

Demikian sekilas sharing pengalaman saya, untuk sesi ke 18.

*Naskah telah di-edit ulang, tanpa mengurangi atau mengubah isi dari sharing.