Iman dan Bisnis.

Beberapa agama tidak memperkenankan imam memahami hal keduniawian. Entah itu diartikan imam tak perlu peduli dengan kehidupan umat di dunia nyata menghadapi segala persoalan, sehingga imam dapat khusuk, melebur dalam kesibukan ritual agama saja? Lalu, bagaimana melayani konsultasi akan iman?

Apakah iman dibangun dihadapan-Nya hanya mengenai kegiatan sosial saja?
Apabila perbandingan antara kegiatan formil dan sosial secara moderat adalah 50 – 50, dan peliputan agama melulu hanya atas kegiatan sosial, maka fungsi serta peran iman dalam mengarahkan kehidupan adalah 50% dari seluruh kegiatan umat.

Sementara dimaklumi, keadaan perekonomian dimasa kini membuat kecenderungan orang mem-prioritas-kan kegiatan formil di atas kegiatan bersosial, kegiatan bernafkah men-dominasi kehidupan masyarakat, khususnya di kota-kota besar.

Ketidak jelasan menjadikan resah.

Ada saat-saat seorang merasa perlu ber-konsultasi dengan pemuka agama mengenai pelurusan kegiatan yang seturut iman, atau peneguhan iman menghadapi godaan dan tantangan. Untuk dapat melayani konsultasi seperti itu tentu dibutuhkan pengetahuan memadai dalam bidang dimaksud.

Benarkah pengakuanku?Kita ketahui bahwa beberapa agama tidak memperkenankan imam memahami prihal keduniawian. Entah ini dimaksudkan imam tidak perlu peduli dengan kehidupan umat di dunia nyata menghadapi segala kesulitan hidup, agar imam dapat mengkhusukkan diri dengan kesibukan yang bersifat ritual agama saja, atau ada alasan lainnya?

Kemanakah umat harus pergi mencari bantuan akan solusi permasalahan penerapan iman pada kegiatan seharian, kalau bukan kepada pemuka agama? Namun, bantuan apa gerangan dapat diharapkan dari imam yang tidak memahami kepentingan hidup umat?

Sekedar renungan.

Bilamana dimata Yang Maha Kuasa benar, bahwa semua manusia adalah sama, tanpa membedakan atribut di dunia, sebagaimana diajarkan agama sendiri, tentu tidak perlu ada rasa risih atau enggan pemuka agama, untuk turut juga mempelajari hal mengenai kehidupan dunia nyata.

Begitulah isi lecture dari, Laura Nash, Program Director Business and Religion Harvard Divinity School’s Centre, mengenai etika business dan study nilai kehidupan dalam ber-masyarakat, sejak tahun 1977, di Boston University’s Institute; ia kerap menyaran agar komunitas pemuka agama juga hendaknya mau mempelajari bidang perniagaan.

Pernah penulis menemukan beberapa umat  yang pantang membicarakan business di dalam tempat ibadah, mungkin karena kekuatiran disebut penyamun. Setelah keluar dari tempat ibadah, bebaslah membicarakan dan melakukan segala business.

Sikap yang ditunjukkan seolah-olah mengatakan, bahwa selagi berada di dalam tempat ibadah kita hendaknya bersikap suci atau kudus, setelah berada diluar bebas bersikap kotor atau kudis. Adakah iman seperti ini yang memang diajarkan agama?

Pemuda, tukang kayu bernafkah.

Yang awam saja, dapat melihat nilai dasar menunjukkan mana profesi pedagang dan mana yang penyamun. Pedagang yang baik membawa manfaat dari kegiatan bussiness nya kepada khalayak, konsumennya, dapat kah dikatakan sebagai menyamun?

Lain dengan kegiatan spekulator, pengeruk laba yang tiada mempeduli dengan harkat hidup orang banyak, menimbun komoditi, membuat orang terpaksa membeli dengan harga tinggi.

Dari penyikapan tadi, terlihat adanya pandang positip atas kegiatan business. Siapakah yang dapat hidup tanpa bernafkah (atau dinafkahi)? Sedang nafkah diperoleh hanyalah melulu melalui kegiatan ber-niaga atau kegiatan formil lain yang berhubungan.

Apabila kegiatan dunia niaga dipandang sebagai hal kotor dimata iman, kedua terkotor setelah politik seperti pendapat sebagian khalayak, maka salam sejahtera apakah yang disampaikan satu kepada yang lain oleh umat beriman? Sekedar basa-basi belakakah?

Kiranya perdagangan bukan hal ekslusif dari agama atau iman, menyangkali akan arti penting niaga dan memisahkannya dari kehidupan ber agama, adalah penyangkalan terhadap kenyataan dan kebenaran.

Kurangnya (nyaris tidak pernah) khotbah atau ceramah mengenai business oleh imam dikarenakan tidak dikenalnya dunia yang satu ini, terutama pemuka agama berdomisili di tempat ibadah, tiada kesempatan menghayati hidup dunia nyata.

Phenomena ini tidak berarti, bahwa umat dapat menanggalkan iman begitu saja, selagi berkegiatan formil, mengakibatkan timbulnya keresahan bathin dihantui perasaan ber-standard ganda, dari waktu ke waktu menggoyang kemantaban iman.

Sementara tiada pilihan, adalah arif sekiranya umat sendiri ber-inisiatif mencari jawab akan iman yang benar untuk diterapkan dalam kegiatan formil. Untuk hal mana, tidak lagi harus bergantung mengandalkan imam, sebagaimana para ilmuwan yang dengan berani menyatakan kebenaran, antara lain adalah Galileo.

Kepada kita semua diberikan akal budi, seyogyanya kita mengembangkannya menurut apa yang kita yakini, yang kita imani, tanpa perlu menunggu, apalagi bergantung pada pengarahan pemuka agama yang tak kunjung berniat memahami kenyataan hidup.