Tidur Seranjang, Mimpi Berbeda.

Pepatah Tionghoa kuno tetap aktual dan relevan di masa kini. Jikalau kekuatan cinta (the power of love) ada serta besar lalu
kekuatan apa yang kemudian mendorong kepada perceraian? Jikalau kekuatan cinta memang hanya semu dan tidak pernah ada lalu kekuatan apa membuat pernikahan bertahan sampai tua, sampai kematian saja yang memisahkan pasangan?

Judul artikel ini adalah pribahasa Tiongkok kuno, menyatakan bahwa sekalipun tidur di atas pembaringan yang sama, orang-orang yang tidur berbagi tempat itu tetap masing-masing dengan mimpinya sendiri.

Tidur seranjangBunyinya telah menyirat, bahwa pribahasa dimaksudkan terhadap mereka yang hidup bersama, suami-isteri, sebagai menasehati agar yang satu memahami dan menerima apa yang menjadi kehendak yang lain.

Pribahasa mana telah dikenal, me-legenda, sedari masa pasangan nikah diatur melalui penjodohan oleh orang tua dan comblang, dan tetap aktual sampai masa kini.

Meskipun kuno, relevansi pribahasa justru lebih mengena untuk masa sekarang, masa memberontak terhadap perjodohan, masa dengan kebebasan memilih pasangan tetapi angka kasus perceraian meningkat pesat.

Kekuatan cinta, seberapa kuat?

Tidak terhitung kisah drama perjuangan sepasang manusia, untuk mewujudkan tekad sehidup-semati, dengan lakon pasangan dimabuk asmara menerabas segala rintangan yang menghalang cinta buta termasuk larangan orang tua, sampai-sampai perkawinan dijalani dalam pelarian.
Dari pada kumpul bersama orang tua tidak berpengertian; lebih baik kumpul bersama kerbau, kumpul kebo.

Persamaan antara perjuangan positip yang mengundang decak kagum dan perjuangan gelap-mata, adalah bahwa keduanya diperbuat untuk dan atas nama cinta, luar biasa!
Sampai disini, sepertinya kita harus belajar menerima betapa besar kekuatan cinta itu.

Tragis namun nyata, bahwa diantara kisah-kisah drama itu, ada (banyak) yang berakhir dengan perceraian, ketika usia pernikahan baru berjalan beberapa tahun saja, kendati ikrar bersetia diselenggarakan di tanah yang dipandang sangat suci.

Setelah baru saja mencoba mengakui kedahsyatan kekuatan cinta (the power of love), lalu kekuatan apa gerangan yang datang menyusul dan mampu mendorong pasangan kepada perpisahan?
Kekuatan cinta yang digembar-gembor seakan-akan tanpa tanding, sirna seperti kapal yang karam ke dasar laut ketika datang kekuatan lain, yang tentu lebih besar dari pada kekuatan cinta. Oh my God!

Nilai sebuah mimpi, itulah kekuatan sebenarnya.

Perpisahan dapat terjadi tanpa kehadiran pihak ketiga. Perceraian dapat terjadi walau kedua pihak telah bersungguh-sungguh dalam berupaya, memenuhi commitment ber-rumah tangga. Lihat Commitment.

Semua itu dimungkinkan terjadi, karena apa yang sebelumnya dirasa sebagai kekuatan cinta sesungguhnya adalah sebuah mimpi, yaitu mimpi atau cita-cita akan kebahagiaan menjalani hidup bersama orang yang disenangi. Mimpi itulah menjadi pendorong, me-motivasi orang bertindak, berbuat, untuk meraih kebahagiaan yang diimpikan.

Akan tetapi, mimpi setiap orang berbeda. Impian mengenai bagaimana sebuah rumah-tangga yang berbahagia menurut pendapat seorang berlainan dengan pendapat orang lain, meski orang itu adalah pasangan pilihan sendiri.

Mungkin bagi suami, kebahagiaan adalah ber-wiraswasta setelah menikah, mencukupi nafkah untuk keluarga, dengan isteri sebagai ibu rumah tangga. Sedangkan isteri lebih menghendaki mereka berdua tetap bekerja sebagai karyawan dengan gaji tetap, tanpa perlu berpusing kepala memikirkan untung rugi atas jalannya perusahaan sendiri.

Kehadiran momongan yang sebenarnya sangat didambakan mereka berdua kemudian membuat suami merasa asing berada di rumah sendiri untuk waktu yang cukup lama, karena isteri hanyut dengan kesibukan menjalani fungsi sebagai ibu yang baik.
Mimpi mengenai kehidupan sex juga menjadi issue hangat persoalan rumah tangga.

Setelah beberapa waktu, mendapati kenyataan bahwa kehidupan yang dijalani dengan ber-rumah tangga tiada seperti yang diidamkan, pada saat itu mulai terbit perselisihan. Tiada terlihatnya tanda-tanda mimpi akan tercapai, membuat cekcok berkepanjangan, menjadi prahara mengancam terhadap keutuhan keluarga. Kata sehidup-semati sudah berubah pemahaman menjadi satu-hidup satu-mati.

Disayangkan, bahwa hidup bahagia yang menjadi impian pasangan atas keluarga tidak dapat digambarkan seutuhnya dalam waktu singkat; waktu seumur hiduppun tiadalah cukup untuk memahami pasangan hidup selengkapnya.

Beruntunglah pasangan yang mendapati perbedaan mimpi mereka ternyata tipis saja. Akan tetapi, betapapun tipisnya perbedaan itu, pemaksaan mimpi dapat menimbulkan persoalan. Jangan dikatakan lagi, jikalau perbedaannya sangat jauh dan satu sama lain saling memaksakan.

Apabila keadaan begini yang dihadapi hendaknya satu sama lain tidak saling menjauhi. Issue perbedaan tak akan pernah terselesaikan dengan saling menjauh. Pisah ranjang bukanlah tindakan arif; selagi tidur seranjang saja mimpinya berbeda bagaimana pula mimpi dengan tidur berpisah ranjang?

Pendekatan adalah mutlak diperlukan yaitu melalui komunikasi yang terbuka dan baik. Mengeluh, mengomel, meng-kritisi, sebaiknya dihindarkan jauh. Cara ber-komunikasi yang keliru dapat membuat perbedaan meningkat menjadi krisis. Sense of humor yang sehat sangat mendukung terhadap penciptaan suasana kondusif.

Komunikasi bersifat terbuka jikalau disertai sikap introspektif. Penting untuk disadari berdua bahwa jalan terbaik yang efektif untuk mempermudah keadaan adalah dengan mengubah mimpi sendiri terlebih dulu.

Demikian mengenai “tidur seranjang, mimpi berbeda”, pribahasa Tiongkok kuno, tetapi tetap aktual dan relevan untuk dicamkan khususnya oleh muda-mudi zaman sekarang untuk membangun mimpi secara sehat akan masa depan, sebelum kepalang meyakini kekuatan cinta.

Atau mungkin ada yang pembaca budiman dapat tambahkan mengenai yang disebut kekuatan cinta? Dipersilahkan share untuk kita semua.