Kegaiban di Malam Badai.

Dibukanya pintu, dilihatnya seorang anak berumur kira-kira 12 tahunan, mengenakan jas hujan berwarna kuning, berpayung hitam. “Tuan dokter, tolonglah nenek saya, ia pingsan di rumah, tidak jauh dari sini. Saya pulang lebih dulu, tolong tuan dokter segera menyusul ya, please?”

Jangankan untuk mengerti akan alam akhirat, didalam kehidupan di dunia fana ini saja banyak kejadian yang sulit untuk diterima logika manusia. Ada yang menyebut sebagai kegaiban, lainnya menyebutnya sebagai mujizat, diantaranya adalah kisah yang terjadi dibawah ini.

Dalam sebuah kompleks perumahan yang luas, diantara penghuni nya adalah seorang dokter yang terbilang lanjut usianya. Ia suka bergaul dan menolong tetangga nya yang membutuhkan nasehat kesehatan. Tiada segan ia mengunjungi rumah tetangga yang menderita sakit tanpa mengharap imbalan.

Suatu malam, sebagaimana kebiasaannya sehabis makan malam, dokter yang mulai kakek itu, berjalan sekeliling rumahnya. Ia kedatangan nenek, yang kadang dilihatnya berjalan pagi di perumahan mereka.
Nenek itu berniat menanyakan mengenai kesehatannya, dengan menunjukkan hasil test darah laboratorium yang diterimanya siang hari.

Berdasarkan hasil test, dokter mengetahui bahwa si nenek menderita ketidak stabilan kadar gula dalam darah yang kritis, sangat membahayakan bagi kesehatan; kadar gula nya meningkat pada suatu saat dan menurun drastis pada saat lain, keadaan manapun dapat membuatnya semaput tiba-tiba, tanpa terduga.

Dokter yang penolong memberinya beberapa butir obat, untuk mulai diminum malam hari itu. Nenek menerimanya dan lekas pamit pulang, dikarenakan cuaca menunjukkan gejala akan turun hujan badai; angin mulai bertiup sangat kencang dan halilintar saling bersahutan.

“Oh my God!”, seperginya nenek beberapa saat, dokter baru teringat bahwa ia belum memberikan dosisnya. Kelebihan meminum obat itu tidak kalah berbahayanya. Dalam bingung ia mondar mandir di ruang duduk; ia harus ke rumah nenek itu segera, tetapi tidak mengetahui di jalan yang mana nomor berapa rumah nenek di perumahan yang luas itu.

Terpikirkan olehnya untuk menanyakan alamat nenek kepada tetangga terdekat, tetapi teringat bahwa ia belum mengetahui nama nenek itu. Sementara berpikir, hujan mulai turun deras, disertai angin ribut. “Oh Tuhan, bagaimana saya harus mengatasi ini?”

Duduk dalam kecemasan sangat, tanpa dapat berbuat sesuatu. Hanya dapat berharap tidak terjadi hal yang dikuatirkannya. Termanggu-manggu di kursi hingga ia dikejutkan suara ketukan yang agak keras pada pintu rumahnya; entah sudah berapa lama pintu diketuk ketika terdengar olehnya.

Dibukanya pintu, dilihatnya berdiri seorang anak laki-laki, berumur 12 tahunan, dalam jas hujan berwarna kuning terang dan berpayung hitam. “Tuan dokter, tolonglah nenek saya, ia pingsan di rumah, tak jauh dari sini.” Anak itu memberitahukan alamatnya dan berkata lagi: “Saya pulang lebih dulu, tolong tuan dokter segera menyusul ya, please?”

Dokter tak sempat memberi tanggapan, ia bagai terpana memandangi punggung anak itu berlalu dari rumahnya. Sesaat kemudian ia menyadari keadaan, segera mengambil tas, menyambar payung, melangkah cepat, menuju alamat rumah yang diberi anak itu kepadanya.

Setiba di rumah dimaksud, mengetuk pintu beberapa kali, beberapa saat kemudian ia memberanikan diri membuka pintu yang tidak terkunci. Didapatinya nenek terbujur di lantai karpet. Ia memberi suntikan dan melakukan hal lain sebagaimana lazimnya yang diperbuat kepada pasien.

Setengah jam kemudian mulailah nenek siuman. Nenek yang telah dibaringkan di atas sofa mengejap-ngejap mata mencoba mengingat saat terakhir sebelum jatuh pingsan; ia belum sempat meminum obat pemberian dokter. Dokter berlega hati karenanya lalu menceritakan apa yang dialami sepergi nenek dari rumahnya.

“Terima kasih tuan, untuk kedatangan dan pengobatan saya.” Sesaat kemudian, nenek bertanya keheranan: “Tetapi siapakah anak yang anda maksudkan? Saya tinggal disini seorang diri.” Dijawab dokter dengan menyebut ciri, cara berbicara dan pakaian anak yang mendatanginya.

“Dari apa yang dokter katakan, mencirikan anak itu adalah cucu saya. Tetapi, cucu saya itu meninggal setengah tahun lalu pada sebuah kecelakaan diluar kota, dalam kegiatan camping sekolah. Ia telah tinggal bersama saya selama lima tahun sejak orang tuanya berpisah.” Seraya menunjuk photo tergantung di dinding, lanjutnya: “Apakah anak itu yang anda maksudkan?” Demikian nenek, sambil menyeka air mata di pipinya.

“Dalam keremangan tadi, saya tidak dapat melihat jelas wajahnya.” Jawab dokter tidak dapat memastikan. Lalu, sambungnya perlahan: “Tetapi, bagaimana mungkin anak itu adalah mendiang cucu anda? Saya sendiri melihat dan mendengar ia berbicara dengan saya setengah jam lalu di rumah saya.” Ia bergumam bagai berkata kepada diri sendiri demi menjaga perasaan nenek.

Nenek terdiam sejenak lalu bangkit dari sofa, berjalan menuju garasi untuk mengambil sehelai jas hujan ber-ukuran kanak-kanak, berwarna kuning, menunjukkannya kepada dokter. “Ini adalah jas hujan yang biasa dikenakan cucu saya ke sekolah. Apakah jas ini yang anda lihat dikenakan anak itu tadi?”

Dokter mengenali jas itu dan spontan menjawab: “Ya, inilah jas hujan yang dikenakan anak itu tadi, saya melihat kancing atasnya lepas.” Lalu, dokter dan nenek tidak dapat berkata-kata lagi mendapati jas hujan itu masih basah, beberapa tetes air nya jatuh ke lantai.