Etnis Tionghoa.

Emigrasi besar Tionghoa abad 19 direkrut sebagai kuli dengan upah dan kondisi kerja tak sesuai perjanjian. Mereka menelan keadaan pahit karena tiada jalan pulang ke kampung halaman walau ikatan kerja telah terpenuhi. Hanya 5% bertahan hidup setelah selesai proyek pembangunan yang sangat berat.

Where there is sunshine; there are Chinese: begitu ungkapan orang Inggris sejak dulu; kerajaan Britania Raya, dengan daerah jajahan terluas dalam masa kolonial, mendapati orang Tionghoa dimana-mana, disegala penjuru dunia ini. Adakah ini mengherankan?

Mulainya emigrasi dari Tiongkok.

Emigrasi penduduk dari Tiongkok mencatat riwayat panjang; sejak dynasty Qin, tahun 210 sebelum masehi. Qin Shi Huang, kaisar yang mempersatukan Tiongkok,  mengutus ribuan penduduk, laki-laki dan perempuan keluar dari daratan Tiongkok untuk mencari ramuan hidup abadi, dan mereka tidak pernah pulang kembali.

Cheong Sam, Chinese traditional ClothEmigrasi berlanjut pada masa pemerintah dynasty Han, Tang dan seterusnya, banyak pedagang berkelana dan tidak kembali ke tanah kelahiran, mereka menetap di Arab, Eropa, serta berkeluarga disana bersama penduduk lokal ataupun sesama emigran.

Berikutnya adalah emigrasi yang serempak terjadi dalam abad 14 masa dynasty Ming, mayoritas berasal dari propinsi FuJian dan GuangDong.
Penduduk dua propinsi di bagian selatan Tiongkok ini merantau, sebagai utusan perdagangan kekaisaran, ke region sekitar laut Tiongkok selatan dan lautan Hindia, mentaati perintah kaisar ZhengHe.

Dalam abad 19 terjadi lagi emigrasi bergelombang sangat besar, ketika pemerintahan dynasty Qing (Manchuria) berperang menghadapi pemberontak. Perang saudara yang berkepanjangan membawa penduduk ke dalam keadaan melarat kelaparan, terutama penduduk propinsi dimana pertempuran kerap terjadi adalah dua propinsi tadi, FuJian dan GuanDong.

Abad 19, adalah masa kejayaan kolonialis barat; daerah jajahan tersebar luas, meliputi hingga Asia sekitar daratan Tiongkok. Menggarap tanah jajahan membutuhkan banyak tenaga kerja; sedangkan pada waktu tersebut perbudakan mulai berangsur dihapus di banyak daerah kolonial, terutama di Afrika, budak-budak disana sudah dibebaskan.

Untuk menutupi kekurangan tenaga, pemerintah kolonial melirik penduduk Asia, yang diantaranya dari Tiongkok dan India. Pada waktu itu kekaisaran Qing sedang melemah, satu dan lain hal karena merajalelanya korupsi, kekaisaran tak dapat menepis tekanan negara kolonialis. Dan, sekali lagi penduduk propinsi FuJian dan GuangDong yang ber-emigrasi; karena keadaan di kedua propinsi itulah kehidupan paling mengenaskan.

Kehidupan sebagai kuli (pekerja kasar).

Emigrasi massal berulang, untuk mencari penghidupan yang lebih baik, dengan tujuan Afrika selatan, Asia tenggara, benua Amerika dan Australia. Kebanyakan mereka bukan kalangan terpelajar, karena itu dipekerjakan sebagai buruh kasar yang dikenal sebagai kuli. Pada bagian besarnya tenaga mereka dibutuhkan pada pembuatan jalan kereta api atau pertambangan.

Pencaloan kuli berkembang marak dengan sebutan perdagangan anak babi; merekrut kuli-kuli dengan iming-iming dan janji upah menarik dan kondisi kerja yang baik.
Ada yang mengikut karena terlibat hutang yang lainnya diculik. Tenaga kuli Tionghoa merupakan favorite; mereka pekerja keras ber-phisik kuat, bersemangat besar dalam mencarikan nafkah bagi keluarga.

Perbudakan telah dihapus, kenyataannya perlakuan terhadap kuli Tionghoa ini sangat kasar tiada ubahnya budak. Sebagian tewas bahkan sebelum mencapai tempat tujuan kerja karena buruknya sarana transportasi dan kurangnya makanan dalam perjalanan yang sangat jauh.

Upah dan kondisi kerja, sangat jarang sesuai dengan perjanjian, mereka menelan saja segala keadaan; tiada jalan untuk kembali ke kampung halaman, walau setelah waktu ikatan kerja sudah terpenuhi. Biasanya, setelah selesai proyek tidak lebih 5% saja dari jumlah mereka semula yang bertahan hidup.

Pekerja Tionghoa diminati negara barat.

Selain kemampuan kerja keras, orang Tionghoa bersedia menerima upah yang relatif lebih rendah. Dimasa sekarangpun hampir tidak pernah karyawan Tionghoa menuntut akan upah seperti yang diterima rekan karyawan bule, walau mereka bekerja dibidang yang persis sama. Mempekerjakan karyawan Tionghoa menjadikan peningkat efisiensi dan daya saing perusahaan.

Permintaan akan tenaga kerja Tionghoa bertambah khususnya dari negara yang masih berkembang pesat pada waktu itu (abad 19) yaitu antara lain Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru. Imigran dari Tiongkok kemudian tidak hanya sebagai kuli saja di negara-negara tadi, mereka mulai dipekerjakan di pabrik, perkantoran, bank, biro-jasa, kuliner dan sebagainya.

Populasi imigran tenaga kerja Tionghoa yang meningkat secara drastis, tidak pelak lagi dilihat warga setempat sebagai ancaman yang serious terhadap ketersediaan lapangan China Town di Brisbane, Australia.kerja bagi mereka.
Tak mengherankan itu terjadi, dikarenakan pekerja Tionghoa dikenal sebagai satu dari tiga etnis asal Asia berkemampuan bekerja bagai kuda, bekerja sampai 16 jam sehari.
Sebagian besar mereka bekerja pada dua perusahaan dengan waktu shift beruntun.

Pendatangan pekerja asal Tiongkok dirasa sebagai boomerang. Pemerintah setempat segera menerapkan kebijakan pembatasan lapangan kerja bagi para imigran. Namun, diskriminasi telah terlanjur terbangkit, warga setempat memusuhi, bahkan melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap etnis Tionghoa, terjadi hampir di setiap kota, di California, Amerika Serikat, dalam abad 19. Demikian pula di banyak tempat lain dalam waktu yang berbeda.

Kehandalan hidup dan ketahanan berbudaya.

Tekanan keadaan merupakan tempaan bagi setiap orang yang bersemangat menjalani kehidupan. Kehandalan etnis Tionghoa menunjukkan hal itu, setelah demikian banyak pengorbanan selama beberapa generasi. Hal mana tak mudah dimengerti oleh mereka yang tak pernah mengalaminya, termasuk penduduk di daratan Tiongkok sendiri yang tidak mengalami penderitaan dalam perantauan sebagai minoritas di negara lain.

Selain bersemangat kerja, berhasrat besar bernafkah bagi keluarga, dan kemampuan beradaptasi, ada hal lain yang menjadi ciri dari etnis Tionghoa yang sulit diterangkan alasannya, adalah semangat dan kegigihan melestarikan kemurnian budaya. Padahal tidak pernah ada instruksi, tak pernah ada semacam indoktrinasi pelestarian budaya dari daratan Tiongkok sendiri.

Di lokasi, dimana komunitas Tionghoa ber mukim atau berkegiatan, yang popular disebut China Town, di kota di berbagai negara, ditemukan gapura bernuansa seni Tiongkok dengan gaya dynasty berbeda-beda.
Pelestarian budaya juga terlihat melalui seni tari, lukis, fashion, bahasa, tak ketinggalan Chinese Food mendunia serta banyak lagi bidang lainnya.

Demikian penyebaran etnis Tionghoa ke segala penjuru dunia telah terjadi sejak lama, mulainya bukan atas inisiatif emigran. Mereka ber emigrasi untuk melepaskan diri dari beban hidup yang berat,  yang ternyata hanya untuk memasuki penderitaan lain, yang bahkan jauh lebih pahit. Begitu kelamnya hidup beberapa generasi sebelum kemudian mencapai keadaan sekarang.

Oleh karenanya, dimanapun berada, adalah bijaksana sekiranya etnis Tionghoa hidup ber-mawas diri, paling tidak sebagai sikap refleksi pengenangan, penghormatan, atau penghargaan atas pengorbanan yang telah dibayar generasi terdahulu.