Puji Senja sharing.

Sharing oleh Puji Senja, member DCCAC.
Sharing terbaik sesi ke 19, pilihan members DCCAC.

Kisah ini mengenai puteri tetangga, dimulai beberapa tahun lalu, ketika ia masih berse kolah, duduk di kelas II, di IKIFA. Dengan prestasi belajarnya yang kurang membangga kan, ia tidak dapat naik ke kelas III; membuatnya malu, putus asa, tidak lagi berniat me neruskan sekolah nya.

Orang tuanya menaruh harapan besar atas diri puterinya itu, mereka kalang kabut di buatnya; bagaimana tidak? Berbagai cara untuk membuat puterinya mau meneruskan belajarnya telah dilakukan, mulai halus lembut sampai kepada ancaman, saudara-sau daranya juga membantu membujuk. Semua itu tidak diindahkan, ia tetap pada pendiri annya; keluar meninggalkan sekolah, untuk bekerja di pabrik sebagai buruh kasar!

Pada suatu hari, tetangga itu datang me ngobrol ke rumah saya. Diantara percakap an, diungkapkannya keluhan mengenai pu terinya. Sebagai pernyataan sikap simpati, saya menjadi pendengar yang baik, sambil memikirkan kalau-kalau ada yang dapat saya lakukan untuk membantunya.

Beberapa hari kemudian terpikir cara yang mungkin dapat membangkitkan semangat puteri tetangga itu. Saya mengajaknya per gi ber-rekreasi bersama, ke Dufan. Saya ka takan kepadanya, bahwa saya punya tiket menganggur untuk kami berdua.

Ajakan saya disambutnya dengan baik, cukup lama juga kami berputar-putar ditaman rekreasi yang sangat menyenangkan hatinya, sampai terlontar ucapan dari mulut nya: “Enak ya, kalau dah kerja, bisa punya banyak uang ‘tuk jalan-jalan!” Saya menanggapi: “Kerja yang menghasilkan banyak uang itu butuh ilmu dan pengalaman yang banyak juga.” Mendengar itu ia hanya terdiam.

Selang beberapa minggu, kembali saya mengajaknya keluar berjalan-jalan; kali ini ke tempat teman yang tinggal dipemukiman minus. Melihat pemandangan di lingkungan itu, dimana anak-anak tidak bersekolah, mereka makan seadanya yang dapat dimakan dan berpakaian sekedar menutupi tubuh saja, komentar nya: “Kasihan mereka ya.”

“Ya, namun bagaimana kita dapat menolong, kalau kita saja tidak dapat menolong diri sendiri untuk hidup sejahtera dan bahagia? Untuk menolong, tidak saja dibutuhkan ke tulusan ketulusan, tetapi juga kemampuan, yaitu materi, uang.”
Demikian saya menimpali.

Beberapa malam kemudian kami bertemu dimuka rumah, setelah bertegur sapa mengo brol santai dalam kesempatan itu saya katakan kepadanya bahwa ia adalah gadis yang cantik, ia menyanggah mengatakan bahwa ia adalah gadis bodoh, tidak naik kelas. “Saya tidak peduli kamu naik kelas atau tidak, dek. Tetapi saya sungguh ingin melihat kamu ti dak hanya cantik diluar saja, tetapi juga cantik hati dan pemikiran, saya siap membantu mu mendapatkannya.” Tukas saya.
Ia terdiam sejenak lalu lirih ia bertanya: “Apa sih yang mas pingin?”

“Lanjutkan sekolahmu, saya siap mendampingimu melewati masa sulit agar kamu sukses, agar kamu bisa membantu orang-orang ber kesusahan yang kita lihat kemarin. Itulah yang saya harapkan.”

Walhasil upaya saya tidak sia-sia, ia melanjutkan kembali sekolah, dengan lebih bersemangat, dan berhasil lulus dengan baik. Kini ia sudah berkarir pada sebuah rumah sakit besar dengan kedudukan yang baik.

Dari pengalaman itu saya menyimpulkan, suatu pujian yang tulus, bila diutarakan pada saat dan pada tempat yang tepat, dapat menjadi pembangkit motivasi yang besar atas diri seorang.

*Naskah telah di-edit ulang, tanpa mengurangi atau mengubah isi dari sharing.