Abu Nawas Dihukum Mati.

Kedatangan tamu negara, dilihat raja sebagai moment untuk mencari kesalahan Abunawas dan menjatuhi hukuman. Maka dipanggillah Abunawas, untuk mempersiapkan sebuah cerita, sebagai penghibur tamu istana sepanjang malam sampai pagi hari. “Ampun paduka, tetapi apakah paduka tuanku sungguh berminat mendengar cerita, sepanjang malam sampai pagi?”

Dari hari ke hari, tidak juga Abu Nawas memperlihatkan niat menerima jabatan hakim kerajaan. Raja yang dibuat penasaran dengan sikap itu, mengenakan pembatasan atas kebebasan Abu Nawas; ia tidak diperbolehkan pergi dari ibukota, tidak diperkenankan berkumpul dengan sesama warga tidak juga memberikan pelajaran kepada anak-anak. Iapun dikenakan wajib lapor secara berkala. Lihat kisah terdahulu.

Abunawas 2Tekanan yang dikenakan raja terhadapnya tidak membuatnya jera. Sebaliknya, malah terpikir olehnya untuk memberi pelajaran kepada raja yang semena-mena itu. Untuk memeriahkan moment tersebut, diajaknya seorang tetangga menyertainya ke istana.

Dalam perjalanan, ia mengatakan maksud nya untuk membokongi raja. Tetangganya terperanjat mendengar niat merendahkan raja yang dapat diancam dengan hukuman berat, namun rasa ingin tahunya membuat tetap menemani ke istana untuk melihat tingkah Abu Nawas mempermainkan raja.

Di hadapan raja, tetangganya bersimpuh di atas permadani, yang terhampar di bawah singgasana sebagaimana lazimnya setiap orang menghadap, sedangkan Abu Nawas di atas rerumputan, berjarak selangkah dari sisi permadani. Bertanyalah raja kepadanya: “Hai Abu Nawas, mengapa engkau tidak duduk di atas permadani yang lebih bersih?”

Abu Nawas menjawab: “Ampun paduka tuanku, tetapi biarkanlah hamba duduk di atas tikar hamba sendiri.” Karena tiada tertampak sehelai tikar pun disana, bertanyalah lagi raja kepadanya: “Tetapi tikar manakah yang engkau maksudkan, hai Abu Nawas?”

Menanggapi pertanyaan, Abu Nawas menjawab: “Maaf paduka inilah tikar yang hamba bawa sendiri dari rumah.” Seraya membalikkan badan menunggingkan bokong kepada raja, memperlihatkan sehelai kecil tikar yang terjahit pada bagian pinggul celananya.

Melihat itu, tetangganya segera menundukkan kepala untuk menutupi gelak tawa yang tidak tertahankan dan raja memalingkan wajah yang merah padam bahna marahnya. Ia tidak menemui alasan untuk menghukum sampai mereka berdua pergi.

Raja bermaksud membalas.

Seminggu kemudian, raja menerima kunjungan raja dari negara lain. Kedatangan tamu kerajaan dipergunakan raja sebagai kesempatan mencari kesalahan Abu Nawas, untuk menjatuhi hukuman. Diperintahnya pengawal membawa Abu Nawas datang ke istana.

Di hadapan tamunya, raja memberi perintah kepada Abu Nawas, agar mempersiapkan sebuah cerita untuk keesokan hari, menghibur tamunya sepanjang malam hingga pagi. “Ampun paduka, tetapi sungguhkah tuanku berminat dengan cerita sepanjang itu?”

“Ya Abu Nawas, kami berdua akan mendengar engkau bercerita dimulai setelah makan malam dan berakhir pada pagi subuh.” Jawab raja, lalu sambil melihat kearah tamu, ia melanjutkan: “Apakah pernah engkau mendengar raja berbohong?”
Tamunya mengangguk menguatkan pernyataan raja tuan rumah. Lalu, kedua mereka tertawa, merasa yakin bahwa Abu Nawas tidak dapat memenuhi perintah.

Mengertilah Abu Nawas dengan muslihat raja dibalik perintah itu, ia mondar mandir di rumah memikirkan cerita panjang untuk disajikan ke hadapan raja dan tamunya, agar terhindar dari hukuman yang tengah direncanakan raja terhadap dirinya.

Keesok malam, selesai perjamuan, kedua raja memasuki ruang dimana telah menanti Abu Nawas. Setelah berbasa basi penghormatan, mulailah Abu Nawas bercerita: “Pada zaman yang sangat dahulu, zaman yang terdahulu sebelum zaman dahulunya zaman dahulu, adalah sebuah desa pada sebuah pulau yang indah permai.”

“Di desa itu terdapat sebuah danau dengan airnya jernih biru, dan seekor ikan hidup di dalamnya. Di tepi danau tumbuh pohon rindang, meneduhi sebagian kolam di bawah nya. Di pohon itu terdapat semut-semut, bersarang pada daun dan rantingnya.” Lalu, Abu Nawas diam sejenak.

“Suatu ketika, jatuh seekor dari antara semut-semut. Melihat itu ikan segera mendekat dan tanpa ampun, haaap, dimakannya bulat-bulat semut itu.” Berhenti sejenak, sambil melihat kepada kedua raja yang mengikuti jalan cerita dengan serious, lalu dilanjutkan nya lagi: “Jatuh lagi seekor semut, dan haaap, semut dimakan ikan lagi.”

Setelah meneguk minuman yang disediakan untuknya, Abu Nawas melanjutkan: “Jatuh lagi seekor semut dan haaap semut dimakan ikan lagi.”
Ia mengulang-ulang jatuhnya semut seekor demi seekor. Ketika raja melenggut karena mengantuk, ia mengejutkan dengan memperkeras suara: “Jatuh lagi seekor semut dan haaap dimakan ikan lagi!” Demikian ia bercerita sampai waktu terang tanah.

Raja dan tamunya mendengarkan Abu Nawas bercerita sampai pagi, dikarenakan janji mereka sendiri. Dengan wajah kuyu bergadang, raja membiarkannya pergi dari istana, sebelum mengakhiri cerita, yang memang tiada akan pernah berakhir.

Ketaatan dan bakti Abunawas.

Pembatasan yang dikenakan raja atas dirinya, memaksa Abu Nawas menjalani profesi sebagai tabib untuk memungkinkannya bergaul. Banyak juga pasien disembuhkannya, yaitu penderita flu atau masuk angin; yang tanpa pertolongan sekalipun mereka dapat sembuh dengan sendirinya.

Lagi-lagi raja mencari jalan untuk menghukum Abu Nawas dengan profesi nya itu. Raja telah berusia lanjut dan menderita sakit keras, memerintahnya untuk menyembuhkan dalam waktu 3 hari, dengan ancaman hukuman mati atas kegagalan.

Tentu saja tabib gadungan tidak dapat menyembuhkan; karena itu tak pelak ia dijatuhi hukuman. Menjelang eksekusi, Abu Nawas menghadap untuk terakhir kalinya. “Ampun paduka tuan, hamba akan menjalani hukuman dengan tulus hati. Tetapi sebelum mati hamba mohon diperkenankan menunjukkan bakti kepada paduka tuanku.”

“Apakah gerangan yang engkau akan lakukan untukku, hai Abu Nawas?” Bertanya raja yang sedang sakit dari singgasana. “Ampun paduka tuanku, hamba mengetahui bahwa paduka tuan memiliki seekor kuda putih sembrani yang berbakat; hamba akan melatih kuda milik paduka itu agar dapat terbang di angkasa.”

Raja uzur yang ternyata masih berambisi duniawi, memperkenankan Abu Nawas untuk melatih kuda miliknya. Hari-hari berikutnya terlihat Abu Nawas berkeliling, menuntun seekor kuda putih yang sedang dilatihnya terbang, di halaman dalam penjara.

Dua minggu berjalan, sipir penjara yang sebenarnya bersimpati kepadanya tidak dapat menahan diri lagi, ia bertanya: “Hai Abu Nawas, telah sekian lama engkau melatih kuda itu, tetapi maaf, saya tidak melihat tanda-tanda bahwa ia akan dapat terbang.” Dengan nada akrab jawab Abu Nawas: “Lha iya, wong kuda ora ono sayape koq iso terbang?”

Beberapa hari kemudian raja meninggal dan digantikan oleh raja baru yang keponakan dari mendiang raja terdahulu. Sebagaimana biasanya raja yang baru memerintah akan menunjukkan sikap arif; ia meluluskan permintaan grasi yang diajukan Abu Nawas dan membebaskan dari pengenaan pembatasan atas dirinya.

Begitulah Abu Nawas yang dikenal dengan pameonya berbunyi: Seribu raja boleh mati, Abu Nawas tetap hidup.