Sabarku ada batasnya.

Benar tak tertahankan emosi, sampai saya lemparkan kursi di depan saya, dan tidak peduli walau banyak yang menyaksikan: “Boss saja yang bodoh, manager tak becus begini dipekerjakan. Menjadi boss koq tidak bisa membedakan antara pekerja yang baik dan tidak? Jangan membela hanya karena ia masih family!”

Sharing sesi ke 18 oleh Lily Soo, member DCCAC.
Sharing terbaik sesi ke 18, pilihan member DCCAC.

Pengalaman waktu saya masih di negara Brunei, bekerja untuk perusahaan bernama PT. Kecil, bergerak dalam bidang export-import, sebagai supervisor.

Suatu ketika boss melebarkan bisnis nya, membuka sebuah supermarket, kegiatannya itu melibatkan saya sepenuhnya karena kepercayaan fengshui; saya dipercayai sebagai berjodoh membawa keberuntungan baginya, disamping, waktu itu perusahaan sedang mengalami kekurangan tenaga kerja.

Mulailah kesibukan saya bersama team; kadang masuk kerja pk: 07 pagi, baru pulang pk: 02 subuh. Keesokan hari harus masuk kerja, dikarenakan stock barang yang masih menumpuk dan memerlukan saya untuk men-check nya.

Kunyatakan amarah dan protes ku
Kunyatakan amarah dan protes ku

Bisnis supermarket berkembang dengan baik; sehingga boss membuka cabang lagi di kota lain. Sekali lagi saya yang menjadi tumbal, bolak-balik mengurus semua, full sebulan, tanpa cuti.

Dalam kegiatan, adalah seorang manager bersama kami, ia kerjanya mondar-mandir saja menunggu kedatangan boss, untuk ia melaporkan semua, sebagai hasil kerjanya.
Ia tidak membantu sama sekali, sebaliknya malah menambah kerepotan kami yang bekerja.
Itulah, mengapa ia tidak dapat menjawab boss mengenai sediaan atau yang sudah habis terjual. Ia juga tidak tahu code barang masuk setiap hari. Tetapi jikalau ada kesalahan pasti dilemparkan kepada kami.

Semakin hari kelelahan dan kekesalan makin menumpuk; capek lelah kami tak pernah dihargai, membuat kami makin tidak menyukainya. Namun tiada dari kami yang berani mengadukan, mengingat hubungan keluarga si manager dengan boss, dan kami kuatir kehilangan pekerjaan.

Begitupun saya, hanya bisa mencoba bersabar, yang ternyata kemudian ada batasnya, meledaklah keluar amarah saya pada suatu kejadian; ketika ia membawa pulang kunci pintu toko dan store untuk dibuatkan duplikat dipagi hari, dan ia tidak mengembalikan kunci itu sampai malam hari, dikarenakan hari cutinya.

Saya bertanggung jawab atas semua kunci, saat off-day pun saya harus datang, ke toko dan store, membukanya di pagi hari, menutupnya di malam hari dan mengambil uang hasil penjualan. Mendapati kunci tidak dikembalikan oleh manager di malam hari, saya menelponnya, dijawabnya bahwa ia tidak dapat datang karena sudah larut malam dan perjalanan cukup jauh, satu jam berkendara.

Jadilah, saya harus bermalam di dalam toko, untuk mengunci pintu dari dalam, bagus- nya kasir tidak sampai hati meninggalkan saya bersendiri, ia menemani bermalam.
Tak berganti pakaian, tidak mandi, bagaimana dapat tidur? Oh, betapa berat menahan emosi waktu itu.

Keesokan pagi, dihadapannya saya lampiaskan amarah kepadanya: “Dasar penjilat tak berpikiran sedikitpun!” Dijawabnya bahwa saya tidak me respect nya sama sekali dan sebagainya. Tanpa mengalah saya melanjutkan dengan: “Saya berasal dari Kalimantan, jadi jangan macam-macam dengan saya, atau akan saya makan kamu!”

Benar tidak tertahankan emosi, sampai saya lemparkan kursi di depan saya, terus saja saya beruneg uneg;  saya tak peduli walau banyak karyawan menyaksikan, membuat ia terpaksa menelpon boss. Tanpa terhalangi, boss ikut menjadi sasaran amarah saya:
“Boss saja yang bodoh, manager tidak becus begini dipekerjakan. Menjadi boss koq tak bisa membedakan antara pekerja yang baik dan tidak? Jangan membela hanya karena ia masih family!”

Sebagai penutup kata, saya menyatakan: “Kalau boss tidak senang dengan sikap saya,  saat ini juga saya berhenti!  Saya tidak takut, dan saya tidak bekerja lagi disini kalau tidak ada penghargaan!”

Setelah reda amarah saya, kami mengadakan meeting, dan si manager meminta maaf kepada saya. Karena masih usia muda waktu itu, saya tidak memaafkannya.
Setiap berpapasan dengannya selalu saya perlihatkan muka masam, sikap membenci, yang tentunya mengejutkannya; karena sejak mula tak pernah saya bersikap begitu.

Sampai saat ini, kalau teringat kejadian waktu itu, kembali emosi bergolak. Pada hemat saya; orang seperti itu, memang harus diberi pelajaran.

Demikian sharing saya, semoga tidak ada pembaca mengalami hal seperti pengalaman saya.

*Naskah telah di-edit ulang, tanpa mengurangi atau mengubah isi dari sharing.