Antara Ramalan dan Nasib.

Adakah salah jikalau bertanya pada peramal akan jalan hidup, peruntungan masa depan? Tetapi Bagaimana apabila peramal keliru dengan ‘perhitungannya’? Siapa dapat merubah nasib? Mungkin kisah ini mempermudah untuk menjawab pertanyaan diatas atau mungkin malah menambah pertanyaan berikutnya.

Apakah nasib dapat diramalkan, sehingga juru peramal banyak didatangi untuk melihat peruntungan masa depan sementara kalangan religious menanggapi sebagai tindakan mendahului kehendak Yang Maha Kuasa?

Ada sebuah kisah menarik yang mungkin memudahkan menjawabnya.
Konon, pada suatu masa adalah seorang saudagar kain ber-toko di sebuah kota. Toko mana diwariskan orang tua kepadanya, sebagai anak tunggal; ayahnya sudah memilih beristirahat di kampung halaman karena usia lanjut. Pemilik toko kain pada zaman itu adalah saudagar kaya.

aWei murungPada suatu hari, aWei, saudagar muda itu, berniat melihat peruntungan masa depan, mengingat usianya telah menginjak angka tiga puluh lima dan ia belum berkeluarga. Belum ada rasa ketertarikan kepada gadis tertentu untuk diperisteri. Datanglah ia ke peramal terkenal di kota lain yang letaknya kebetulan berdekatan dengan kota tempat ia berdagang.

Sebagaimana biasa, peramal menanyakan kelahiran sambil ‘memeriksa’ tapak tangan dan wajah aWei. Dengan ekspresi ber-emphaty, peramal menuturkan jalan hidup yang tidak menggembirakan. Menurut perhitungannya hidup aWei berakhir sebelum musim dingin tahun mendatang.

Betapa terkejut aWei, bagai tersambar petir di terang hari. Keruan saja, pemuda yang sebenarnya berwatak ceria dan optimistis menjadi sedih karenanya. Niat kedatangan semula untuk menanyakan mengenai perjodohan diurungkannya.

AWei meninggalkan tempat peramal  dengan perasaan masgul tak menentu. Hari-hari nya, dilalui di toko dengan wajah sendu. Enthusiasme berdagang hilang, ambisi semula mengembangkan usaha tokonya pupus. Setiap menemui kejadian sedikit saja lain dari biasa, diartikannya sebagai pertanda mendekatnya hari kematiannya. Gelak canda nya tidak terdengar lagi, ia menjadi pemuda melancholis.

Beberapa bulan berjalan, tidak tahan lagi aWei dengan suasana hati sedemikian; tanpa ditemani keluarga, terlebih lagi malam hari dilewati seorang diri setelah karyawan toko pulang. AWei mengambil keputusan, menutup toko dan pulang ke kampung halaman, dimana orang tua berdiam. Bersama dua karyawan yang mengusung harta-bendanya, bertiga mereka berjalan kaki menempuh perjalanan, naik turun perbukitan.

Pemandangan alam mendatangkan ketenangan hati, sebelum tercekat ia melihat dua orang perempuan, ibu dan anak gadis, berada di tepi jembatan yang akan dilaluinya. Mereka sedang bersiap melompat ke dalam jurang. Merasa tertarik, aWei menanyakan mengapa keduanya mengambil tindakan senekad itu.

Ternyata kedua ibu beranak menghadapi ancaman tuan tanah, yang akan mengambil anak gadisnya sebagai selir, bila malam itu mereka tidak melunasi hutang. Sedangkan tuan tanah itu terkenal sebagai penyiksa perempuan.

Tersentuh juga hati aWei, ia yang sebenarnya agak kikir; diserahkannya sejumlah uang kepada mereka untuk melunasi hutang pada tuan tanah. Untuk apa lagi berhemat, toh ia sendiri tiada akan menikmatinya lagi sesudah mati, demikian pikirnya.

Di kampung halaman, aWei menghabiskan sisa waktu hidupnya, bergaul dengan para tetangga dan teman-teman masa kecil. Perasaan aWei banyak tertolong terutama oleh penghiburan ayah bunda dan sanak keluarga dekat.

Bulan demi bulan, tahun berganti, terlewat jadwal perhitungan si peramal. AWei masih hidup, sehat bugar, bahkan merayakan tahun baru dengan gembira, waktu telah mulai musim semi.

Merasa yakin dengan kesalahan perhitungan peramal, aWei mengunjungi lagi tempat peramal. “Saya harap anda masih mengingat saya, dan yang hadir di hadapan anda ini bukan hantu, melainkan saya sendiri, saya masih hidup setelah lewat waktu menurut perhitungan anda.”

Beberapa saat peramal mengingat-ingat akan client yang satu ini. Sambil ‘menghitung’ dengan jemarinya, ia berkata: “Saya mengingat anda, saudagar muda, saya tidak tahu apa yang telah anda lakukan selama ini, namun menurut perhitungan saya, semua itu dapat terjadi karena anda telah menyelamatkan setidaknya dua nyawa.
Itulah alasan mengapa anda masih dapat berdiri dihadapan saya sekarang.”

AWei tidak begitu saja mengerti akan ucapan si peramal, sampai kemudian ia teringat akan ibu dan anak gadis yang ditemuinya dalam perjalanan pulang kampung, kejadian lebih setahun lalu. AWei pun terdiam, termanggu dan mengangguk-anggukan kepala.

Demikianlah kisah aWei yang menentukan nasib sendiri, diluar perhitungan juru ramal.
Ada beberapa kenalan penulis berpendapat, bahwa peramalan akan masa depan yang positip baik, bermanfaat bagi penyemangatan. Akan tetapi, entah bagaimana sekiranya kenalan itu mendapat peramalan sebagaimana kasus AWei.

Bukankah sebaiknya kita berbuat amal kebaikan meyakini bahwa nasib kita ditentukan oleh perbuatan kita sendiri? Atau adakah pendapat lain dari pembaca yang budiman?